oleh

KESADARAN BUDAYA YANG SEHAT HARUS TETAP MENGACU PADA PANCASILA & UUD 1945 YANG ASLI MAUPUN YANG DIAMANDEMEN

Oleh : Jacob Ereste
Penulis Adalah : Pemerhati Sosial

Tudingan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang potensi tekornya BPJS Kesehatan Rp 28 triliun hingga akhir 2019 mungkinlah diindikasikan oleh terjadinya fraud. Karena fraud atau kecurangan itu bisa terjadi karena over klaim pada sistem layanan BPJS Kesehatan secara menyeluruh. Mulai dari data peserta sampai dengan sistem rujukan, antara Puskesmas, rumah sakit, ke BPJS, serta sistem tagihannya yang juga diyakini oleh Sri Mulyani Indrawati perlu diperbaiki. Indikasi dari kemungkinan terjadi fraud ini, katanya pun perlu di-address. Kecuali itu Sri Mulyani Indrawati juga mengatakan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla (JK) sudah sepakat meminta Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan untuk membenahi sistem pelayanan secara menyeluruh. Salah satunya adalah menyeimbangkan antara iuran dengan manfaat yang didapatkan oleh peserta.

Alasannya, karena hasil audit BPKP menemukan over klaim banyak tagihan yang tidak sesuai fakta. Kecuali itu, BPJS Kesehatan juga diminta untuk membangun sistem, dan bisa segera mengatasi fraud, seperti over klaim, tidak ada pasiennya tetapi dibuat diklaim fiktif.

Selain itu, katanya pemerintah daerah juga diminta memverifikasi data kepesertaan lebih ketat, demi untuk memberi layanan yang sesuai dan maksimal. Karena, banyak peserta BPJS Kesehatan yang baru mendaftar saat mengalami masalah atau sakit. Artinya masyarakat pun menjadi bagian dari tudingan kesalahan yang telah membuat BPJS Kesehatan terancam bangkrut.

Dampak lanjutan dari upaya untuk menyelamatkan BPJS Kesehatan yang tidak sehat ini, mulai tahun 2019 BPJS Kesehatan akan mulai menerapkan kebijakan penarikan iuran melalui auto debet dari rekening nasabah. Istilah peremannya itu yang dimaksud perampokan yang santun, kata Hasanudin dari Komunitas Buruh Indonesia yang berkomentar dari Banten.

Direktur Utama BPJS Kesehatan Fachmi Idris mengakui sistem ini merupakan debit otomatis dari rekening nasabah, sehingga mengurangi saldo pada tanggal penarikan atau transaksi, katanya saat usai rapat dengan Komisi XI DPR RI di Jakarta. (CNN Indonesia, 2 September 2019). Menurut dia, untuk kewajiban membayar iuran lewat autodebet ini terkait dengan 10 rencana kerja BPJS Kesehatan dalam 5 tahun ke depan. Salah satunya, terkait mitigasi kepatuhan membayar, terutama untuk kelas 3 atau Peserta Bukan Penerima Upah (peserta mandiri). Begitulah dalam proses pembayaran serupa ini jadi terkesan bahwa tudingan itu jelad ditujukan pada anggota BPJS Kesehatan klas 3 atau pesetta bukan penerima upah. Jadi seakan merekalah orang yang paling berdosa dan patut bertanggung jawab terhadap ancaman kebangkrutan dari BPJS Kesehatan.

Karena menurut Sri Mulyani Indrawati, tanpa kenaikan iuran, defisit BPJS Kesehatan tahun ini bisa mencapai Rp32,8 triliun.  Sementara Menko Bidang Pembangunan manusia dan Kebudayaan (PMK) Puan Maharani menyatakan kenaikan iuran BPJS Kesehatan segera akan dimulai pada 1 September 2019. Meski begitu, toh pemerintah belum mengumumkan secara resmi kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang sudah terlanjur membuat gaduh negeri ini. Akibatnya pun, sejumlah koleha dan sahabat dekat jadi merasa khawatir serta perlu untuk mengingatkan agar labih berhati-hati, siapa tahu itu hanya jebakan tikus serta bagian dari pengalihan isu belaka. Sebab banyak pejabat yang tidak kompeten, kok jadi begitu getol dan semangat angkat bicara dan memberi komentar, kata Ratuate Sektetaris Eksekutif Atlantika Institut Nusantara.

Kritik yang lantang pun berdatangan dari sejumlah kalangan. Seperti dari Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dibebankan kepada rakyat sungguh memprihatinkan. Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) jugs menilai kenaikan iuran BPJS Kesehatan yang dibebankan kepada masyarakat harus menjadi skenario terakhir. Hanya saja sayangnya, YLKI justru memperlebar masalah yang bisa berimbas pada petani tembakau, karena justru mengharap bisa menutupi devisit BPJS Kesehatan dengan mengeruk duit dari cukai rokok. Alternatif ini sama ibaratnya membongkar rumah untuk membangun dapur. Kisahnya, kok jadi seperti anti-klimak dari drama Si Lebai Malang bagi rakyat kecil. Tawaran itu disodorkan oleh YLKI untuk menutup defisit JKN bisa dengan relokasi subsidi energi dan atau menaikan cukai rokok. (Berita-fakta.co, 8 September 2019)

Yang lebih bijak, tentu sajs jika YLKI mendesak manajemen BPJS Kesehatan untuk membereskan tunggakan iuran dari kategori mandiri atau pekerja bukan penerima upah, yang sudah membengkak menjadi 54 persen itu dengan cara yang lebih ilegan dan menggugah kesadaran warga masyarakat untuk ikut menjadi anggota serta keikhlasan untuk membayar iuran yang tak terlalu memberatkan.

Kalau pun YLKI memberikan toleransi dengan formulasi besaran untuk kategori peserta PBI kenaikannya pada kisaran Rp30.000-Rp 40.000, untuk peserta non PBI usulan tarif rata-rata Rp60.000, itu semua perlu disosialisasikan terlebih dahulu pada warga masyarakat, agar keikutsertaan tak bersifat memaksa. Lebih dari itu, toh UUD 1945 yang asli juga dapat dijadikan pakem agar musyawarah mufakat menjadi budaya bangsa serta pegangan bersama seperti apa yang telah dirumuskan dalam sila Pancasila. Bukankah semua pejabat publik kita sudah sangat gagah mengaku Pancasilais sejati.

Seorang kawan penyair juga mengigatkan diantara kegaduhan dan kebisingan menyoal BPJS Kesehatan untuk rakyat, katanya pemerintah jadi tetkesan panik dan naib. Seakan yang sedang terancam mau bangkrut adalah negeri ini. Kok iya, sejumlah tarif dari pelayanan jasa lainnya juga hendak dinaikkan. Jika pemerintah sungguh bijak, mestinya wargs masyarakat lebih dahulu ditingkatkan kesehshteraannya. Baru kemudian dikenakan beban tarif, retribusi, atau bahkan pajak dengan cara adil dan kemanusiaan yang lebih beradab. Yang runyam, tugas da kewajiban pemerintah memberi pelayan, perlindungan serta keamanan dan kenyamanan patut menjadi diperhatikan dan prioritas. Jadi kegaduhan BPJS Kesehatan, birahi merevisi sejumlah undang-undang ketenagakerjaan, KPK serta lainnya itu harus melihat, mendengar serta mengindahkan aspirasi rakyat. Bila tidak potensi kegaduhan dapat menimbulkan bencana yang bisa lebih gawat akibatnya.

Sungguhkah masih bisa dipercaya bahwa suara rakyat adalah suara Tahun ? Kata kawan penyair tadi yang ikut merasa terusik oleh masalah kesehatan rakyat yang patut dan wajib mendapat jaminan dari pemerintah seperti yang diamanahkan oleh UUD 1945 yang asli maupun yang diamandemen.

Jakarta, 9 September 2019

banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250

Komentar