Oleh: M. Kubais M. Zeen
(Editor dan penulis freelancers. Penulis Literasi Koran TEMPO)
“Kehidupan seperti kanvas yang sangat besar.
Kamu harus mewarnainya dengan cat yang mampu kamu lakukan di atasnya.”
(Danny Kaye, penghibur asal AS).
Selain Goenawan Mohamad dan Jacob Oetama, Dahlan Iskan adalah nama besar di jagat jurnalistik Indonesia. Jawa Pos yang didirikannya mekar hingga ke berbagai daerah, menjadi korporasi media besar yang menyangingi Kompas, TEMPO, Media Indonesia dan Republika. Hanya orang-orang tak ber-iqra yang tak mengenalnya, apalagi mengaguminya.
Dahlan Iskan, selanjutnya disebut DI, banyak yang mengagumi. Tak sedikit yang kagum karena dia bukan keluarga kaya yang sukses berbisnis media. Sebagian yang kagum lalu menulis tentang kisah hidup DI, salah satunya Khrisna Pabhicara. Sastrawan asal Bulukumba, Sulawesi Selatan ini menulis novel trilogi tentang DI. Dua telah terbit: Sepatu Dahlandan Surat Dahlan, yang laris di pasaran bak kacang goreng. Bahkan, Sepatu Dahlan telah difilmkan, menyedot jutaan mata.
Ada pula yang kagum sekaligus berupaya menapaki jejaknya. Burhan Ismail (BI), adalah satu-satunya putra daerah Maluku Utara yang paling mengidolakan DI, masuk kategori ini. BI merupakan sarjana di Fakultas Tarbiyah IAIN Ternate, yang “buta” jurnalistik malah memilih jurnalistik sebagai jalan hidup sejak damai mekar di daerah ini 2003 lalu. Jalan yang tak lazim, mendobrak pandangan mainstream yang sudah mengakar kuat di masyarakat. Tabloid mingguan Cermin Reformasi, tempatnya pertama kali belajar menulis berita.
Kendati demikian, seiring bergulirnya waktu, BI bukan tipe jurnalis tak bervisi yang berpikiran sebatas hasta. Ia ingin seperti DI, tapi penyuka lagu-lagi nostalgia ini sadar bahwa berbisnis, apalagi media, semata mengandalkan keberanian tak terukur sama saja dengan bunuh diri. Juga tak cukup berbekal pelatihan jurnalistik, kelihaian meliput dan menulis berbagai jenis karya jurnalistik berkadar tinggi, kadang merindingkan bulu. Membangun jaringan, mitra dan bagaimana seluk-beluk maupun strategi mengelola media, jadi hal terpenting yang tak bisa diabaikan.
Tujuh tahun lamanya dia bergelut di dunia jurnalistik sebagai reporter, redaktur, pemimpin redaksi, maupun kontributor berita di televisi nasional (MNC Grup). Ia termasuk jurnalis yang bisa menulis berita media cetak dan elektronik yang dapat dihitung dengan jari.
“Pucuk dicita ulam pun tiba.” Impiannya baru terwujud pada 2010, tepatnya 11 Januari, terisnpirasi judul lagu vokalis Band Gigi, Armand Maulana. Surat Kabar Harian Posko Malut miliknya di-launching. Ia menjadi DI “kecil”.
Posko Malut mampu bernafas di tengah ramainya pertumbuhan dan persaingan media hingga kini. Di usia empat tahun, Posko Malut menorehkan sejarah, menerbitkan buku berisi tulisan sejumlah jauhari dari berbagai disiplin ilmu yang aktif menulis di kolom Basuara, Intermezo dan Opini Posko Malut. Mengembalikan Indonesia, judul buku yang disunting BI bersama tiga redakturnya itu diapresiasi banyak pihak. Seorang penulis ternama yang bermukim di Sulawesi Selatan mengirimkan pesan singkat: “Posko Malut telah mengikuti jejak TEMPO, sebagai media pertama di wilayah timur yang menerbitkan buku.”
Era digital, kerap disebut revolusi 4.0, yang mulai mengubah perilaku pembaca, BI mendirikan lagi sebuah media online: poskomalut.com. Dalam dunia marketing, layaknya DI, pendiri Kompas Jacob Oetama dan Goenawan Mohamad, TEMPO, tak berlebihan untuk dikatakan BI telah mampu menancapkan brand dirinya sebagai jurnalis yang kemudian jadi pengusaha media.
BI adalah nahkoda yang visioner, tegas dan “keras”, tapi bukan berarti “kejam”, sebab tak otoriter. Ia paham bahwa memimpin anak buah yang semuanya lahir dan besar di desa pesisir, sekalipun secara sosiologis lebih terbuka dengan perubahan, tak bisa dengan gaya kepemimpinan daratan. Sebab, daratan tak seperti lautan yang beriak. Daratan “adem,” “tertutup” dengan perubahan, tidak demokratis, tidak pula visioner.
Istilah-istilah di bidang kemaritiman pun kerap ia ungkapkan. Sebut saja “harus pandai membaca arah angin”, “pandai hadapi gulungan ombak besar”, (mirip prinsip Jackob Oetama, “menungging ombak besar”), “mancing di lautan lepas, terdalam”. Kesemuanya butuh kesiapan mental, fisik, taktik, strategi, dan sebagainya agar kapal tetap berlayar, tak karam di dasar samudera.
Di balik kepemimpinannya yang beraroma maritim, BI mengedukasi anak bauahnya hampir setiap saat dengan harapan, mereka semakin profesional menghasilkan karya jurnalistik berbobot. Juga menyuntikkan strategi. Beberapa anak buahnya memutuskan berdikari, sudah punya media online sendiri, di antaranya Koces (Brindonews), Difal (Pilarmalut), Narjo (Kabarmalut), Yamin (Maluttoday), Idhar (teropongmalut) dan Asbur Abu (Cerminnusantara). Sekalipun telah “berpisah” dan saling bersaing berebut pembaca saat ini, hubungan mereka tetap kukuh.
Di luar media, BI aktif di sejumlah organisasi: KNPI, IMM dan Pemuda Pancasila. Tahun 2014 lalu, ia ingin merasakan dunia politik, mencalonkan diri sebagai Dewan Perwakilan Daerah (DPD) Dapil Provinsi Maluku Utara. Di panggung yang masih disesaki ketidakjujuran ini, ia berhasil merebut hati rakyat hingga masuk delapan besar, daftar PAW.
Pergaulannya luas menembus sekat-sekat primordial. Ia pun tahu bahwa tak semua kawan atau sahabat itu sejati. Di antara mereka termasuk yang ia “besarkan” di posisi strategis, ada yang “bertopeng,” yang suatu waktu—karena demi kepentingan pribadi, “melupakan jasanya,” dengan gampang “melukainya” dari segala arah. Tapi, BI, seperti prinsip Jusuf Kalla,”satu musuh berlebihan, 100 kawan masih kurang.” Atau seperti Mahatma Gandi, “kejahatan tak perlu dibalas dengan kejahatan,” agar tetap menjadi manusia bermartabat di semesta.
Sisi lain seorang BI ialah suka berbagi. Manusia adalah mahluk sosial, tapi tak semua berjiwa sosial. Awal meniti karier jurnalistik, sekalipun dengan gaji sangat pas-pasan, setiap akhir pekan BI kerap mengundang kawan-kawan jurnalistik di Tabloid Cermin Reformasi menyuruput kopi, kue dan menyantap hidangan khas di rumah yang pernah ditumpangi ketika itu. Sebuah rumah kecil berlantai tanah yang dibenderangi pelita di malam hari.
Meminjam istilah Steven R. Covey, habit (kebiasaan) berbagi itu masih ia rawat sampai kini. Bahkan kawan-kawan yang bukan jurnalis pun merasakannya. Langkah yang tak kalah penting ditempuhnya ialah Posko Malut beberapa kali berbagi dengan orang-orang tak mampu di Kota Ternate. Dalam ajaran agama Islam disebut kesalehan sosial.
Kendati sebagai bos pemilik media, BI tak menampakkan “kebesarannya” di hadapan kedua orangtua maupun anak istrinya. Sebagai anak, ia tetap menghormati dan mengabdi pada ayah ibunya. Sebagai ayah, ia menumpahkan kasih sayangnya, bercengkrama dengan dua buah hatinya yang dicintai. Sebagai suami, tetap menghormati dan membantu sang istri. Mulai dari mengantar istri belanja, membersihkan rumah dan cuci piring…hahaha. Fans berat pesepakbola ternama Neymar Jr, ini mengenakan celana pendek, kaus oblong.
Menapaki jejak DI, tentu butuh waktu, kesungguhan dan kerja keras. Dua media yang telah didirikan, kepemimpinan, aktif di organisasi, pergaulan luas, kebesaran jiwa, berbagi kebaikan, berbakti pada orangtua dan sayangi keluarga, jadi modal penting bagi BI untuk mewudukan impiannya seperti sang idola.
Tulisan singkat ini tak bermaksud melebih-lebihkan derajat BI yang kerap disapa bos Bur, Bur Posko, yang lahir dan besar di desa terpencil. Bukan pula dari keluarga berada. Tinggi rendahnya derajat manusia ditentukan Tuhan. Manusia sebatas berusaha penuh kesungguhan, lalu bertawakkal pada Tuhan.
Terlepas dari kekurangannya sebagai manusia, mahluk ciptaan Tuhan yang paling sempurna di antara semua ciptaan-Nya, BI telah berbuat untuk orang banyak. “Sebaik-baik manusia ialah yang bermanfaat bagi orang banyak,” demikian petuah Nabi. Kanvas hidup yang ia goreskan akan menginspirasi orang lain untuk menapaki jejaknya, sebagaimana ia menapaki jejak Dahlan Iskan yang dikaguminya hingga kini.
Komentar