oleh

Putusan PN Labuha Tanpa Perintah Penahanan Bisa Di Eksekusi, Surat Pemidanaan Tidak Batal Demi Hukum. Advokad Wilson Colling Ikut Bicara

HALSEL, CN – Persoalan pengrusakan WC
atas tanah milik sendiri yang berlokasi di Desa Kawasi, Kec. Obi, Kab. Halmahera Selatan (Halsel), Provinsi Maluku Utara (Malut), Pengadilan Negeri (PN) Labuha, Kab. Halsel memutuskan tanpa perintah penahanan pisa di eksekusi, Surat Pemidanaan Tidak Batal Demi Hukum. Advokad Wilson Colling Ikut Bicara.(17/7/2020)

Wilson Colling, S.H., M.H. Merupakan salah satu advokat profesional  meniti karir di DKI Jakarta mengatakan eksekusi putusan Pengadian Negeri (PN) Labuha tanpa memuat status penahanan terhadap terdakwa Arter Geore Daeng alias Sors, surat putusan pemidanaan tidak batal demi hukum dengan sendirinya.

Dalam keterangan yang kami himpun kejadian ini berawal dari pengerusakan dinding bangunan WC milik orang lain, namun menurut terdakwa  dinding bangunan tersebut dibangung di atas tanah miliknya, yang terjadi di Desa Kawasi, Kecamatan Obi, Kabupaten Halmahera Selatan.

Hal tersebut Pengadilan Negeri Labuha pada 15 Juni 2020 telah memvonis Arter George Daeng , dengan hukuman penjara selama 5 (lima) bulan. Arter George  Daeng dianggap telah melanggar Pasal 406 ayat (1) KUHP, dalam Putusan Perkara  Nomor : 22/Pd. B/2020/PN.Lbh., dinyatakan pada  diktum pertama  dan diktum kedua mengadili :

Dalam diktum pertama  “menyatakan  terdakwa Arter George Daeng alias Sors telah terbukti secara sah dan menyakinkan bersalah melakukan tindak pidana menghancurkan, membikin tak dapat dipakai barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian milik orang lain.”

Dalam diktum kedua dijelaskan bahwa ” menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Arter Goerge Daeng Alias Sors dengan pidana penjara selama 5 (lima)  bulan.”

Dalam petikan  putusan tidak disebutkannya perintah penahanan yang bersifat menghukum (menjatukan pidana) sehingga banyak pihak yang memberikan pendapat hukum mengklaim bahwa Surat Putusan tersebut batal demi hukum mengakibatkan (putusan tidak dapat) dieksekusi  “Non Executable“.

Hal itu timbul polemik mengusik rasa keadilan masyarakat, praktisi hukum serta Akademisi bidang hukum pidana, Kabupaten Halmahera Selatan, Provinsi Maluku Utara, mempertanyakan apa dasar hukum sehingga pihak jaksa dapat mengeksekusi  Terdakwa?

Saat di hubungi wartawan cerminnusantara.co.id, Wilson Colling, SH.MH menyampaikan bahwa “dasar klaim tersebut tidak terlepas dari pendapat-pendapat ahli hukum terkait masalah keabsahan yang tidak mencantumkan perintah penahanan sebagaimana diatur dalam Pasal 197 ayat (1) huruf  “k” dan Pasal 2  KUHAP (Kitab Hukum Acara Pidana  ) UU No. 8 Tahun 1981” kata Wilson

Menurut dia “Pasal  197 ayat  (1) huruf  “k”,  perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau dibebaskan.
Sementara  menurut  Pasal 197 ayat  (2)  “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, e, f, h, j, k  dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.” Papar Wilson

Pada Saat Dimintai pendapat hukum dari Forum Komunikasi Hukum FKH OBI dan tokoh masyarakat terkait putusan tersebut, Wilson Colling dari perspektif hukum acara dan dalam prakteknya dia juga mengatakan bahwa “Meskipun dalam Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP ada ketentuan yang menyebutkan bahwa surat putusan pemidanaan harus memuat antara lain perintah supaya terdakwa ditahan, namun karena penahan itu menurut Pasal 1 butir 21 KUHAP harus dilakukan “menurut cara yang diatur dalam Undang-undang ini”, maka apabila wewenang penahanan yang dimiliki Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi sudah habis dipergunakan, maka Hakim Pengadilan Negeri/Pengadilan Tinggi tidak dapat memerintahkan “agar terdakwa ditahan” di dalam putusannya,” bunyi  SEMA 8/1985 mengatur mengenai tata cara penahanan terdakwa yang tidak tahan dalam proses penyidikan. Hal ini sudah dipraktikkan selama bertahun-tahun. Ungkap Wilson

Sambung Wilson “dalam proses penyidikan terdakwa tidak ditahan, sehingga membuat Majelis Hakim PN Labuha, dalam kutipan putusan tersebut tidak ada perintah terdakwa ditahan  ” Menimbang  bahwa oleh karena Terdakwa tidak ditahan dan menurut pendapat tidak cukup alasan untuk menahan sebagaimana Pasal 21 KUHAP, maka Terdakwa tidak ditahan “

“Lantas, apa bunyi Pasal 21 tersebut? Pasal 21 KUHAP mengatur syarat memerintahkan penahanan apabila memenuhi syarat objektif dan subjektif penahanan. Pasal 21 tersebut melekat kepada aparat penegak hukum” cetus Wilson

Dalam Bunyi Pasal 21 ayat 1 berbunyi :

Perintah penahanan atau penahanan lanjutan dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan melarikan diri, merusak atau menghilangkan barang bukti dan atau mengulangi tindak pidana.

Lanjut Wilson “atas dasar hukum di atas, maka dalam praktik peradilan yang berlaku, jarang ditemukan Pengadilan Negeri tiba-tiba menetapkan penahanan terdakwa yang sebelumnya tidak ditahan”

“dalam catatan kami masalah polemik eksekusi putusan tanpa memuat status penahanan bukan hal baru sudah sering terjadi dalam dunia peradilan kita, bukan saja terjadi  pada  Arter George Daeng, seperti contoh pernah heboh gara-gara masalah eksekusi putusan dalam kasus perambahan hutan di Kalimantan Selatan melalui Putusan PK No. 157 PK/Pid. Sus/2011 tanggal 16 September 2011. Pihak terdakwa melalui kuasa hukumnya seorang Profesor hukum terkemuka yang juga seorang Mantan Menteri Kehakiman dan Menteri Sekretaris Negara, Yusril Ihza Mahendra, menolak  eksekusi dengan dalih tidak memenuhi syarat formal Pasal 197 ayat (1) huruf k KUHAP yakni tidak memuat perintah penahanan dalam putusan PK”

Sekedar diketahui, Mahkamah Konstitusi (MK) menyatakan putusan pengadilan  tidak wajib mencantumkan perintah ditahan, tetap dalam tahanan atau dibebaskan  setelah menghapus huruf “K” dalam Pasal 197  ayat (2) KUHAP  berdasarkan uji materi (Judicial Review) melalui Putusan   Nomor 69/PUU-/2012 tentang pengujian  Undang-Unadang Nomor 8 Tahun  1981 Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Dengan dicabutnya ketentuan tersebut, maka redaksional Pasal 197 ayat (2) KUHAP selengkapnya berubah menjadi ,  “Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, e, f, h, j, dan I pasal ini mengakibatkan putusan batal demi”.

“Jadi, jika surat putusan pemidanaan tidak memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau dibaskan, tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum” kata dia

Wilson juga menjelaskan “walaupun tidak wajib  sejatinya  hakim Pengadilan Negeri Labuha, dalam  amar putusan pidana tetap perlu ada pernyataan bahwa terdakwa tersebut ditahan, tetap dalam tahanan, atau dibebaskan sebagai bagian  dari klausula untuk menegaskan materi amar putusan lainnya, sehingga tidak menimbulkan kontroversi di kalangan masyarakat.

“ada atau tidaknya pernyataan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk mengingkari kebenaran materil yang telah dinyatakan oleh hakim dalam amar putusan pada diktum pertama dan diktum kedua, menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah bersalah melakukan tindak pidana dan menjatuhkan pidana penjara selama 5 (lima) bulan”

Dari argumen yang telah diuraikan maka Wilson Colling, S.H., M.H. menyimpulkan, Pertama : harus dipahami bahwa suatu putusan pengadilan haruslah dinggap benar dan sah menurut hukum (res judicata pro veritate habetur) dan oleh karenanya mengikat secara hukum pula terhadap pihak yang dimaksud oleh putusan tersebut sebelum ada putusan pengadilan lain, Kedua : dalam praktinya sesuatu putusan yang mencederai rasa keadilan dan kepastian hukum bagi warga negara  haruslah diuji melalui putusan pengadilan,  tidak batal demi hukum dengan sendirinya, Ketiga : dalam putusan Mahkamah Konstitusi  Surat Putusan pemidanaan tidak memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau dibebaskan tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum.

Oleh karena itu,  dapat saya katakan dengan dasar argumen dan Putusan (MK), teori  serta  asas hukum  diatas terhadap putusan  tidak memuat perintah supaya terdakwa ditahan atau dibebaskan tidak mengakibatkan putusan batal demi hukum.Dan terhadap putusan yang telah memiliki kekuatan hukum tetap pihak jaksa bisa melakukan eksekusi terhadap terpidana.

Advokat Wilson Colling, S.H., M.H., melanjutkan menganjurkan kepada Pihak kuasa hukum atau keluarga terdakwa jika tidak puas dengan putusan tersebut, dalam rangka perlindungan terhadap hak asasi manusia, prinsip negara hukum memberi peluang untuk melakukan upaya hukum berupa perlawanan banding atau kasasi terhadap putusan pengadilan negeri hingga melakukan pengawasan dan pengamatan guna memperoleh kepastian bahwa putusan pengadilan dilaksanakan sebagaimana mestinya.

“Namun dalam perkara ini dilihat dari acaman pidananya dibawah 1 (satu) tahun sehingga tidak dapat melakukan upaya hukum kasasi sesuai Pasal 45 A Undang-Undang 5 Tahun 2004 tentang Kekuasan Kehakiman” Tutur Wilson.(Red/CN)

banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250