Oleh : Yuriska Ode Manaf
Perempuan Lingkar Tambang
Willy membeberkan, dalam catatan Tim Advokasi PHLLT – MPO, setiap tahunnya, perusahaan PT Trimegah akan membuang limbah tailing ke dalam laut sebesar enam juta ton. Pembuangan tailing itu dilakukan melalui pasangan jaringan pipa di kedalaman laut 150 – 250 meter atau 490-820 kaki dibawah permukaan laut dan akan ditenggelamkan ke dasar laut setidaknya satu kilometer atau 3.300 ft.
“Dan menurut keterangan atau informasi yang kami miliki ada dua lokasi yang menjadi sasaran pembuangan limbah tailing, yakni Desa Kawasi, Kecamatan Obi yang dimana lokasi industri tambang beroprasi dan lokasi kedua adalah Desa Soligi Kec. Obi Selatan”
Kehadiran perusahaan tambang di provinsi Maluku Utara tentu diharapkan dapat menjadi bagian daripada misi percepatan pertumbuhan ekonomi dan peningkatan sumber daya manusia. hal ini diperjelas dalam isi amdal dan MOU antar pemerintah dan pihak koorporasi. dimana perusahaan akan membukakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya terutama untuk masyarakat yang wilayahnya terkena dampak langsung (daerah lingkar tambang) operasi dan berkewajiban mendukung progran pemberdayaan masyarakat sebagai tanggung jawab sosial melalui CSR.
Kerusakan alam sebagai dampak nyata hadirnya aktivitas pertambangan di kawasan suatu daerah meruapakan hal yang tak bisa dihindari, eksploitasi besar-besaran yang terjadi tak pelak merusak tatanan ekosistem alam baik di laut, hutan dan pesisir sekalipun. reboisasi kemudian menjadi program penting dalam rangka memulihkan (meminimalisir kerusakan) kondisi alam. tapi apakah sejauh ini ada usaha terkait hal itu yang membuahkan hasil? ataukah kita malah lebih sering menyaksikan kerusakan ketimbang perbaikan? eksploitasi ketimbang renovasi? atau mungkinkah kita telat menyadari? atau telat merespon kondisi?.
sekelumit pertanyaan ini yang kemudian hadir dan mewarnai pikiran kita dalam diskursus tentang koorporasi.
lalu bagaimana halnya dengan SDM? apakah penyerapan tenaga kerja secara besar-besaran yang memprioritaskan masyarakat daerah lingkar tambang, bisa dikatakan sebagai peningkatan sumber daya manusia? tentu jawabannya tidak. ketakutan terbesar saya justru hal itu akan memperparah pencapaian jumlah minimal tingkat pendidikan di daerah tersebut. para pemuda akan lebih sumringa dan bahagia untuk secepatnya bekerja di perusahaan setelah lulus dari bangku sekolah, ketimbang melanjutkan studi ke perguruan tinggi. Survei lapangan menunjukkan bahwa hanya sepertiga dari 10 orang pemuda di tiap desa yang menempuh pendidikan di perguruan tinggi. itu pun belum tentu bisa menammatkan studi.
Dari sini, kehadiran tambang justru terlihat seolah mempersempit ruang berpikir pemuda terhadap pendidikan. kehadiran tambang justru menjadi boomerang bukan cuma alam tapi juga tingkat pendidikan manusianya ! dan selamahnya tenaga kita akan terkuras habis dengan upah yang tak sebanding denga jam kerja. lalu pundi-pundi rupiah akan mengalir tanpa henti pada pihak asing dan penguasa ! kita lagi-lagi dicekoki oleh basa-basi bernutrisi dan segepok lembaran merah. aktivis kita akan dibungkam dengan diskusi empat mata di ruang kerja, pembesar-pembesar kita sudah diplot jatahnya setiap bulan bahkan tahunan. lalu kita yang di bawah sudah benar-benar merasa kaya dengan upah 7 juta yang menurut kita sudah sangat banyak dan melimpah.
Mari berbenah !! banyak hal yang tidak kasat mata. kita perlu sedikit lebih maju memaksa pikiran kita untuk kritis dalam menyikapi kondisi dan setiap dinamika.
bersambung…