Oleh :
Hamdy M. Zen
Dosen PBA IAIN TERNATE / Ketua DPW RPI Maluku Utara
Secara fisik, manusia merupakan makhluk yang istimewa, bila dibandingkan dengan makhluk ciptaan lainnya. Seluruh anggota tubuh yang dimiliki manusia, sangat jauh berbeda dengan apa yang terdapat pada makhluk lainnya. Kambing, sapi, Gajah, serta hewan – hewan yang lain misalnya, juga memiliki anggota tubuh yang sama seperti halnya manusia, yakni mereka juga memiliki tangan, kaki, mulut, hidung dan lain – lain. Hanya saja, semua anggota tubuh tersebut, jika dibandingkan dengan yang terdapat pada manusia, sangatlah jauh “berbeda”.
Tangan manusia memiliki “multi fungsi”.
Sementara tangan yang dimiliki Kambing dan kawan – kawan di atas, hanya diperbantukan untuk menopang kakinya agar bisa berjalan dalam menjaga keseimbangan. Begitu seterusnya. Oleh sebab itulah, manusia dikatakan makhluk yang paling sempurna, diantara makhluk ciptaan lainnya.
Melihat kesempurnaan tersebut, terasa sangat wajar jika kehidupan manusia, selalu dipenuhi dengan segala kemisteriusan dunia. Lantas, dengan kesempurnaan inilah, manusia diharapkan, mampu menggali setiap lini kehidupan, untuk menemukan fakta, di balik misteri dunia itu sendiri. Maka manusia perlu segala sesuatu untuk itu.
Pembaca yang budiman!
Mungkin, kalimat “perlu segala sesuatu”, sebagaimana yang dikatakan di atas, menjadi salah satu, dari sekian banyak faktor, yang kemudian dapat mempengaruhi manusia, untuk rela melakukan apa saja. Ya, melakukan apa saja, demi mencapai apa yang dicari. Fakta ini, mengingatkan kita pada apa yang kemudian disebut dengan “optimis”. Dari optimislah, manusia akan bisa menemukan fakta – fakta, yang masih dalam teki – teki.
Berjuang sampai mati. Mungkin kalimat ini, sangat tepat disandarkan dengan kata optimis di atas. Maka mari berjuang, selama nafas masih berhembus, selama darah masih tetap berjalan, dan selama jantung masih terus berdetak. Sebab, selama itu pula, pintu cahaya akan selalu ada. Berjuang sambil berdoa. Tabea.
Namun demikian, perjuangan manusia, seringkali juga menuai jalan buntu. Lalu, dalam keadaan begini, manusia kemudian berputus asa. Merasa telah usai sudah, lantas berkeluh kesah dan berakhir pada jalur bahaya. Na’udzu billah ( mari berlindung pada Allah ).
Jalan terbaik yang harus diambil manusia adalah, terus berjuang dan tetap bertahan. Sebab, Tuhan tak pernah meninggalkan. Tuhan selalu ada, bahkan selamanya tetap ada. Tuhan tak pernah datang, sebab dia tidak pernah pergi. Kalimat ini, mungkin bisa dijadikan senjata, bagi setiap kita yang siap bertarung dalam menjawab segala teka – taki dunia.
Pembaca yang istimewa!
Acap kali pula, manusia optimis yang pantang menyerah, ketika sudah sampai pada apa yang dicari, perlahan mulai lupa. Lupa bahwa dia pernah tertati – tati, lupa bahwa dia pernah mangis sedih, lupa bahwa dia pernah dipalsukan janji, lupa bahwa dia pernah dikhianati, lupa bahwa dia pernah dikucilkan sendiri, lagi dan lagi. Hal tersebut, bukannya dijadikan pembelajaran untuk menjadi lebih berarti, malah justru beralih, menjadi penguasa yang lupa diri. Naudzubillah. Semoga kita terhindar dari sikap yang begini.
Kurang lebih, seperti inilah realita kita saat ini kawan. Walau pun, ini tidak bermakna kolektif atau universal. Akan tetapi, hampir sebagian besar, dinamikanya seperti ini. Oleh karenanya, manusia harus terus berusaha dan berusha. Sebab, ketika rasa penguasa yang lupa diri masih tetap ada, maka kesimpulannya kita masih dalam proses menuju ke sana. Artinya bahwa teka – teki kemisteriusan dunia, belum kita temukan faktanya. Secara otomatis, hidup kita masih dalam tanda tanya. Konklusinya adalah, misteri hidup belum selesai.
Bagaimana caranya untuk menyelesaikan keadaan ini? Jawabannya Cuma satu, ya bersusaha. Sebab, hanya dengan usaha, segala yang sulit menjadi mudah, segala yang gelap menjadi terang, segala yang jauh menjadi dekat, segala yang hitam menjadi putih, segala yang abu – abu menjadi jelas, segala yang ragu menjadi yakin dan segala yang bathil menjadi hak. Semua karena usaha. Maka mari sekali lagi, kita tetap berusaha. Tabea.
Pembaca yang luar biasa!
Usaha, bukan berarti menghalalkan segala cara. Namun usaha di sini, adalah sikap yang tak pernah kenal lelah, dalam melangkah mencari cahaya, dengan tetap menghadirkan Tuhan, dalam segala urusan, dengan penuh keikhlasan, juga kesabaran. Sehingga, kemudian tidak ada yang namanya “dusta diantara kita”. Sampai setiap yang diperoleh, tidak lagi, adanya rasa memiliki dan tidak pula memiliki rasa yang dimiliki. Namun demikian, mohon maaf, dengan berbicara seperti ini, bukan berarti penulis telah dianggap selesai. Tidak. Penulis pun hingga saat ini, masih tetap berproses sama – sama dengan kita semua, untuk menemukan fakta misteri hidup, guna menjadi yang terbaik sebagaimana yang diharapkan Tuhan kita bersama.
Baik, kita lanjut pada pembahasannya. Berikut ini, penulis akan mencoba menjelaskan sedikit maksud di atas, terkait dengan rasa memiliki serta rasa dimiliki.
Pertama rasa memiliki. Rasa memiliki, biasanya akan membuat kita menjadi takut akan kehilangan. Hal ini bisa dibuktikan dengan sebuah contoh berikut. Katakanlah kita punya mobil, rumah, pangkat, jabatan dan seterusnya. Materi – materi tersaebut, jika masih ada rasa memiliki yang tersimpan di dalam hati, yakin dan percaya kita pasti takut kehilangan. Maka setiap tindakan yang kita ambil, pasti selalu terkoneksikan dengan materi yang kita punya tersebut. Kehati – hatian yang dipraktikan, sebagaimana yang disampaikan tersebut, merupakan sesuatu yang baik untuk diterapkan dalam kehidupan kita.
Hanya saja, ketika kita salah dalam memaknai makna di balik dari kata hati – hati tersebut, maka kita tidak akan mendapatkan apa – apa. Semua hanyalah hampa belaka. Sebab, setiap langkah yang diambil, masih terpikirkan oleh kita, terkait dengan apa yang kita miliki saat ini. Kita melakukan ini, karena takut kehilangan ini, atau kita bersikap begini, guna terhindar dari gugurnya ini. Dan seterusnya. Hal ini menunjukan bahwa, rasa memiliki, masih setia berteduh di dalam hati yang terdalam, lalu tanpa sadar, dengan sendirinya Tuhan terlupakan bahkan terabaikan. Jadi, rasa memiliki, membawa kita pada sikap menang sendiri. Mohon maaf, penjelasan ini, jangan sampai disalah artikan. Bacalah dengan hati, insya Allah pasti akan dimengerti. Tabea.
Kedua rasa dimiliki. Adapun rasa yang dimiliki pun maknanya hampir sama dengan rasa memiliki di atas. Bedanya, terletak pada posisi katanya saja. Kalau rasa memiliki berarti posisi kita sebagai subjek. Sementara rasa dimiliki, berarti kita berposisi sebagai objek. Contoh, kita bekerja di suatu instansi yang mana, pada instansi tersebut ada pimpinan yang membawahi kita. Dari sini, ketika kita mau melakukan sesuatu, kita pastinya selalu terfikirkan dengan posisi yang kita jabat. Jangan sampai apa yang diperbuat menyimpang, sehingga kedudukan kita bisa tergeser atau pun terganti.
Dengan bekerja sesuai tupoksi, merupakan hal yang baik. Akan tetapi, perlu pula untuk diingat, jangan sampai saking takutnya atasan / jabatan, sampai – sampai segala hal yang wajib terabaikan. Misalnya, kita diperintahkan untuk melakukan ini, sementara itu bertentangan. Namun karena itu perintah atasan, mau tak mau kita harus melakukannya. Ini naif kawan. Jadi, rasa yang dimiliki, jangan sampai membawa kita pada penyimpangan. Oleh sebab itu, berhati – hatilah kawan.
Pembaca yang terhormat! Tabea.
Kedua rasa tersebut, jika dipahami dengan penuh kesungguhan hati, insya allah akan membawa kita pada titik pertama, yang selama ini terus menjadi misteri. Keduanya lantas mengajarkan kita tentang arti hidup yang sebenarnya. Inilah yang semestinya kita usahakan agar bisa ditemukan, lalu dengan sigap kita pertahankan.
Semoga di hari kemerdekaan kali ini, kita semakin berkembang. Akhirnya penulis hanya dapat berkata, Selamat HUT NKRI yang ke 76, Jayalah Indonesia Ku, Jayalah Garuda Di Dada Ku. Salam Perjuangan. Tabe
Ternate, Puncak Dufa – Dufa, 18 Agustus 2021
Komentar