HALSEL, CN – Warga Desa Liaro Kecamatan Bacan Timur Selatan Kabupaten Halmahera Selatan (Halsel) Provinsi Maluku Utara (Malut) beramai-ramai menggelar bakti pembersihan Mesjid Hininga Moi menjelang Lebaran Idul Fitri 1444 H/2023 M.
Hal itu dilakukan masyarakat Dusun 1 Desa Liaro sebagai bentuk penolakan terhadap Kepala Desa (Kades) yang baru hingga memisahkan diri pada perayaan ibadah ummat Islam yang dilakukan setahun sekali.
Ahmat M Morasa, Tokoh masyarakat kepada cerminnusantara.co.id menyebutkan, pertarungan politik ditingkat Desa yang tidak adil telah menularkan emosi negatif kepada masyarakat. Warga yang sudah tenggelam pada pilihan politiknya akan selalu terpecah-belah hingga dilingkup terkecil jika nilai Demokrasi diabaikan pemangku kepentingan.
“Pasca dilantiknya pemenang kedua sebagai Kades, kondisi sosial politik dan ibadah masyarakat menjadi terganggu. Kondisi ini, tentunya sangat memprihatinkan. Sebab, pembangunan Desa tidak akan berjalan jika masyarakat tidak dapat disatukan. Akibat dari perpecahan ini, kebanyakan warga tidak mengikuti Sholat Idul Fitri dengan Kades, malah justru memisahkan diri di Mesjid Satu Hati,” ungkap Ahmat M Morasa, Rabu (19/4/2021).
Ahmat mengatakan, selain memisahkan diri dalam hal ibadah, warga kompleks Rumah Tiga akan bermusyawarah membicarakan pengusulan Dusun satu untuk dimekarkan menjadi Desa.
“Dalam waktu dekat, kami akan membicarakan hal ini lebih lanjut terkait syarat dan ketentuan apa saja yang akan menjadi acuan pemekaran sebuah Dusun menjadi Desa di Maluku Utara. Jika dalam ketentuan sebanyak 1000 jiwa dan 200 Kepala Keluarga (KK) sudah cukup menjadi syarat pemekaran suatu Desa, maka Dusun Satu sudah siap diperjuangkan menjadi Desa. Nama Desa nantinya kami usulkan adalah Desa Liaro Maici,” terangnya.
Menyikapi perpecahan itu, Jumat Bobeleta selaku Tokoh Adat Desa Liaro mengatakan, tidak ada artinya hidup bermasyarakat jika kondisi sosial terpecah belah.
“Tidak ada solusi lain, selain melakukan musyawarah Luar biasa untuk membicarakan nasib Desa Liaro. Warga Dusun Satu tetap bersama dengan Pemerintahan Desa yang tidak diakui oleh masyarakat langsung atau memisahkan diri dari Desa,” tegasnya.
Hal senada juga disampaikan Toko Pemuda Sarif Laidi, pihaknya lebih memilih memisahkan diri. Sebab menurutnya, pemimpin harus lahir dari masyarakat, namun yang terjadi di Liaro bukan atas kehendak masyarakat.
“Hal ini tentunya bertentangan dengan nilai-nilai pemilihan Pilkades. Sebab semenjak Desa Liaro dibangun, pemimpin Desa selalu lahir dari masyarakat bukan atas kehendak Panitia Pilkades Kabupaten,” sesalnya.
Tak hanya disitu, menyikapi carut marut kondisi masyarakat yang terus memburuk, Tokoh Perempuan, Hasan Husnul berharap Cakades Pemenang kedua yang sudah dilantik mampu berbaur dengan masyarakat.
“Jika hal itu tidak bisa diwujudkan, maka apa yang dilakukan 70% masyarkat Desa Liaro yang berdomisili di Dusun Satu harus didukung dan diperjuangkan karena yang demikian adalah bagian dari aspirasi masyarakat,” harapnya.
Sementara itu, Tokoh Agama Desa Liaro, Mas’ud Hi Mansur sangat menyayangkan adanya perpecahan yang begitu kental jelang perayaan Idul Fitri.
“Semestinya masyarakat dan Pemerintah Desa akur dan saling menyapa serta mengayomi, apa lagi beberapa hari lagi kita akan melaksanakan Sholat Idul Fitri. Sudah semestinya hubungan masyarakat dan Pemdes terjalin dengan baik, sehingga ada silaturahmi usai menggelar ibadah Sholat Idul Fitri bukan seperti situasi sekarang ini,” cetusnya. (Sain CN)
Komentar