oleh

KEHADIRAN PERUSAHAN PERTAMBANGAN HARITA GRUP DI OBI KAWASI TIDAK BERMANFAAT BUAT PEMBANGUNAN EKONOMI MASYARAKAT KEPULAUAN OBI, CSR DI PERTANYAKAN ?

Oleh Ical KETUA KADERISASI PKC PMII MALUKU UTARA

Masuknya harita grup di kepulauan Obi di areal desa Kawasi kecamatan Obi Kabupaten Halmahera Selatan lewat anak perusahanya PT Trimega Bangun Persada (TBP) berawal dari pemberian kuasa Pertambangan Penyelidikan Umum Bahan Galian Nikel no 95.A tahun 2008 dan pemberian IUP PT TBP oleh Bupati Halmahera Selatan saat itu Muhammad Kasuba (Dokumen Amdal PT TBP, 2015) hingga saat ini tercatat belasan perusahan di bawa Harita Grup yang beraktivitas di areal Desa Kawasi.

Aktivitas pertambangan tersebut telah memunculkan berbagai permasalahan yang ditimbulkan oleh aktivitas pertambangan telah menyebabkan keresahan masyarakat. Hal ini terjadi karena pihak perusahan tidak menjalankan program Corporation Sosial Responsibiliti sebagaimana mestinya, konsep CSR sendiri diambil dari panduan International Standarisation Organization (ISO 26000) yang menerjemahkan tanggung jawab sosial sebagai tanggung jawab suatu organisasi atas dampak dari keputusan dan aktivitasnya terhadap masyarakat dan lingkungan, melalui perilaku yang transparan dan etis, yang konsisten dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat.

Dari panduan konsep CSR di atas kemudian negara Indonesia telah mengamanatkan suatu perusahaan harus menjalankan program CSR sesuai UU nomor 40 tahun 2007 tentang Perusahan Terbatas yang mengharuskan suatu perusahan harus melaksanakan CSR, dalam pasal 74 ayat 1 UU Perseroan Terbatas “menyatakan bahwa Perseroan yang menjalankan kegiatan usahanya dibidang dan atau berkaitan dengan sumber daya alam wajib melaksanakan CSR dalam bidang lingkungan”, kemudian dikuatkan juga oleh Peraturan Pemerintah no 47 tahun 2012 tentang CSR pasal 4 ayat (1) Tanggung jawab sosial dan lingkungan dilaksanakan oleh Direksi berdasarkan rencana kerja tahunan Perseroan setelah mendapat persetujuan Dewan Komisaris atau RUPS sesuai dengan anggaran dasar Perseroan, kecuali ditentukan lain dalam peraturan perundang-undangan.”

Kemudian UU no 25 tahun 2007 tentang Penanaman Modal Pasal 15 huruf b berbunyi: “Setiap penanam modal berkewajiban: melaksanakan tanggung jawab sosial perusahaan.” Penjelasan Pasal 15 huruf menambahkan bahwa yang dimaksud dengan “tanggung jawab sosial perusahaan” adalah tanggung jawab yang melekat pada setiap perusahaan penanam modal untuk tetap menciptakan hubungan yang serasi, seimbang, dan sesuai dengan lingkungan, nilai, norma, dan budaya masyarakat setempat.

UU Minerba no 4 tahun 2009 Pasal 108 ayat (1) menyebutkan bahwa “Pemegang IUP (Izin Usaha Pertambangan) dan IUPK (Izin Usaha Pertambangan Khusus) wajib menyusun program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat.” Di tegaskan Pasal 1 angka 28 mendefinisikan pemberdayaan masyarakat sebagai “usaha untuk meningkatkan kemampuan masyarakat, baik secara individual maupun kolektif, agar menjadi lebih baik tingkat kehidupannya. UU minerba ini kemudian dipertajam di PP No. 23 Tahun 2010 merupakan aturan pelaksana dari UU Minerba. PP ini menjelaskan lebih lanjut mengenai pengembangan dan pemberdayaan masyarakat yang telah disinggung oleh UU Minerba. Ada satu bab khusus, yakni BAB XII, yang terdiri dari empat pasal yang mengatur pengembangan dan pemberdayaan masyarakat. Salah satunya adalah Pasal 108 yang berbunyi, “Setiap pemegang IUP Operasi Produksi dan IUPK Operasi Produksi wajib menyampaikan laporan realisasi program pengembangan dan pemberdayaan masyarakat setiap 6 (enam) bulan kepada menteri, gubernur, atau bupati/walikota sesuai dengan kewenangannya.

Dengan adanya UU dan PP terkait CSR maka CSR maka perusahan tidak bisa seenak perutnya tidak mau menjalankan program CSR, dimana setiap perusahaan diwajibkan untuk melaksanakan CSR, dan PP 23/2010 beserta perubahannya juga mencatumkan beberapa sangsi administratif bagi perusahaan yang abai terhadap pelaksanaan CSR berupa “peringatan tertulis, penghentian sementara IUP Operasi Produksi atau IUPK Operasi Produksi mineral atau batubara; dan/atau pencabutan IUP atau IUPK”.

Dari ulasan di atas terkait penjelasan CSR, dihubungkan dengan pelaksanaan CSR oleh PT TBP sebagai pemegang IUP yang beroprasi di Desa Kawasi Kecamatan Obi harus bertanggung jawab penuh dalam menjalankan program CSR,
Program realisasi CSR yang mengalami buntutisme berefek gerakan masyarakat Obi bahkan pada tahun 2011 terjadi aksi besar-besaran masyarakat yang berujung pada masuknya masyarakat di dalam Jeruji Terali Besi pada saat itu.

Perlawanan berlanjut pada tahun 2017 aksi masyarakat Desa kawasi di kantor HRD Perusahaan di Kawasi sampai berlanjut hering di kantor Bupati Halmahera Selatan menuntut air bersih yang layak, listrik gratis, kesehatan gratis yang berkualitas, pendidikan yang layak, sampai saat ini tuntutan masyarakat Desa Kawasi belum direalisasi sesuai yang di harapkan oleh masyarakat. Tuntutan masyarakat kepulaun Obi ini berlanjut dengan perjuangan Camat Kades dan BPD sekepulauan Obi pada tanggal 25 Februari 2019 yang menuntut pihak harita Grup dan PT Wanatiara Persada dengan sejunlah tuntutan.

Bahkan belakang pihak perusahan telah mensabotasi aktifitas perekonomian masyarakat kepulauan Obi pada sektor transportasi laut dengan menghadirkan Speed Boad Cepat KM Masa Jaya rute Kawasi-Kupal dalam mengangkut karyawan cuti pulang pergi dan setiap karyawan yang cuti wajib hukumnya harus berangkat pada hari itu juga, bahkan uang cuti (POH) mereka telah dipotong oleh manejemen Perusahaan, hak-hak kemerdekaan buruh/karyawan telah direnggut sampai pada urusan cuti.

Dengan hadir Speed Boad Cepat KM Masa Jaya rute Kawasi-Kupal dalam mengangkut karyawan cuti telah merampas pendapatan masyarakat Kepulauan Obi
Pada kondisi ini diperlukan kehadiran pemerintah eksekutif sebagai penaggung jawab pemberi IUP, Bupati Halmahera Selatan Bahrain Kasuba dan Gubernur Maluku Utara Abdul Gani Kasuba, klop dinasti kasuba ini tidak boleh buta hati terhadap permasalahan yang terdapat di kepulauan Obi, harus tegas perusahan yang tidak menjalankan program CSR harus di cabut IUPnya sesuai dengan peraturan yang berlaku.

DPRD Kabupaten dan Provinsi terasa seperti lembaga eksekutif karena mandul dalam tugas legislatif, krisis humanisme dengan absennya pembelaan wakil rakyat secarah konkrit terhadap persoalan pertambangan dan kerusakan ekologis yang dihadapi oleh masyarakat Obi, bukankah APBD Halsel dan Provinsi Malut hasil dari perusakan alam di kawasi oleh Harita Grup.

Tuntutan masyarakat Obi terkait CSR mandul untuk direalisasi oleh pihak perusahaan, menjadi pertanyaan kenapa pihak perusahaan sulit untuk merealisasi tuntutan masyarakat Obi, pemberdayaan petani dan nelayan tidak ada, yang ada seperti pemberian hewan kurban perkampun 1 ekor pada hari raya idul kurban kemarin, orang-orang yang bekerja di CSR seperti ini tidak paham program pemberdayaan, saya rasa miris, orang-orang seperti ini masi saja di pakai oleh perusahan.

banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250

Komentar