oleh

Ekologi Manusia : Interaksi Manusia dengan Lingkungan Hidupnya

Oleh: Irfandi Mustafa

“Kekafiran seseorang tercermin dari perilaku jahatnya pada alam; baik kejahatan material seperti merusak lingkungan, mencuri hasil hutan (illegal logging), dan segala jenis perusakan di muka bumi; maupun kejahatan moral, semisal menuruti hawa nafsu, berbuat zalim, melanggar perjanjian, manipulasi data, dan lain – lain” (GUSDUR).

Manusia, seperti halnya semua makhluk hidup dengan lingkungan hidupnya. Ia mempengaruhi lingkungan hidupnya dan sebaliknya ia dipengaruhi oleh lingkungan hidupnya. Manusia seperti apa adanya, yaitu fenotipenya, terbentuk oleh interaksi antara genotipe dan lingkungan hidupnya. Genotipe itupun tidak konstan, melainkan terus menerus mengalami perubahan karena adanya mutasi pada gen dalam khromosomnya,baik mutasi spontan maupun mutasi karena pengaruh lingkungan. Dengan demikian walaupun manusia hanya terdiri atas satu jenis, yaitu Homosapiens, namun keanekaan genotipenya sanglah besar. Seperti halnya secara umum terdapat pada jenis makhluk hidup lainnya, keanekaan genotipe itu terdapat pula pada nenek moyang manusia. Dengan adanya keanekaan ini terbukalah peluang luas untuk terjadilah seleksi. Sebagian seleksi itu terjadi melalui faktor alam, sebagian lagi melalui kekuatan sosial-budaya. Dalam proses seleksi ini individu yang tidak sesuai dengan lingkungannya mendesak, meninggal atau kesempatanuntuk memproduksi diri terbatas. Sebaliknya individu yang sesuai atau dapat menyesuaikan diri dengan lingkungannya berkembang. Terjadilah evolusi manusia dari nenek moyangnya, Australopitheus africanus, menjadi manusia modern Homo sapiens. Nampaknya manusia modern terbentuk oleh lingkungan hidupnya dan sebaliknya manusia modern membentuk lingkungan hidupnya. Manusia tak dapat berdiri sendiri di luar lingkungan hidupnya. Membicarakan manusia harus pula membicarakan lingkungan hidupnya. Manusia tanpa lingkungan hidupnya adalah abstraksi belaka.

Dari uraian singkat saya tersebut nampaklah, manusia tergantung pada lingkungan hidupnya. Kelangsungan hidupnya hanya mungkin dalam batas kemampuannya untuk menyesuaikan dirinya terhadap sifat lingkungan hidupnya. Batas ini ditentukan oleh proses seleksi selama jutaan tahun dalam evolusi manusia. Manakala terjadi perubahan dalam sifat lingkungan hidupnya di luar batas tersebut, baik perubahan alamiah maupun perubahan yang disebabkan oleh aktivitas hidupnya, kelangsungan hidup manusia akan terancam.

Ciri khas manusia yang berbudaya ialah bahwa ia beragama. Agama membentuk pandangan hidup manusia. Di samping itu proses interaksi manusia dengan lingkungan hidupnya, juga sangat mempengaruhi pandangan hidup manusia. Ia mengamati lingkungan hidupnya dan ia belajar dari pengalaman interaksi itu. Ia menyusun citra tentang lingkungan hidupnya, yaitu gambaran yang ia miliki tentang sifat lingkungan hidupnya, pengaruh lingkungan hidup terhadap dirinya dan reaksi lingkungan hidupnya terhadap aktivitas hidupnya. Citra ini tidaklah sempurna, dalam arti tidak sesuai benar dengan kenyataan yang ada. Karena ketidaksempurnaan ini citra tersebut dari waktu ke waktu mengalami perubahan untuk disesuaikan dengan pendapat yang dianggap lebih mendekati kebenaran. Misalnya, dulu citra tentang bumi adalah datar seperti meja. Citra ini kemudian diubah: bumi adalah bulat. Dulu dianggap matahari mengelilingi bumi, kini kita percaya bumilah yang mengelilingi matahari. Citra lingkungan menjadi panduan. Antara lain dalam pelayaran yang tradisional tanpa kompas sampai pada penjelajah ruang angkasa dengan peralatan yang sangat canggih; kalender aktivitas dalam pertanian yang didasarkan pada tradisi sampai pada didasarkan pada prakiraan cuaca dan iklim modern.

Citra, atau dalam istilah yang kini banyak digunakan “model”, sangat dipengaruhi oleh filsafat masyarakat yang membentuk model tersebut. di dunia barat, sejak zaman filsafat Yunani sebelum tarikh Masehi, para pakar filsafat dalam usahanya untuk mencari jawaban tentang, antara lain, alam semesta, mengambil jarak antara dirinya dan obyek yang ditelitinya. Peneliti sebagai subyek dan alam semesta sebagai obyek penelitian terpisah. Pemisahan diri subyek peneliti dari obyek penelitinya membuat si peneliti mejadi lebih obyektif dan membuka peluang berkembangnya ilmu seperti kita kenal di dunia barat. Dengan pemisahan diri itu, walaupun secara ekologik manusia adalah bagian dari lingkungannya, namun ia merasa terpisah dari lingkungannya itu. Lingkungannya ialah sumber daya yang diciptakan untuk kepentingannya dan karena itu ada untuk di eksploitasinya (Serakaaaaaaaaah).

Dalam penelitian AMDALdi Indonesia, terutama di daerah pedesaan, kita akan sering berhadapan dengan citra lingkungan tradisional. Dalam citra lingkungan yang umum terdapat di dunia timur, termasuk di Indonesia, subyek tidak memisahkan diri dari obyek penelitiannya. Namun manusia dapat memisahkan dirinya dari lingkungan biofisiknya. Ada garis batas yang jelas antara manusia dan hewan, tumbuhan, batu, sungai dan gunung. Akan tetapi walaupun ada batas yang nyata antara manusia dengan sistem biofisik, manusia merasa ada hubungan fungsional antara dirinya dengan sistem biofisik yang menjalin manusia dan biofisik menjadi satu kesatuan sosio-biofisik. Ekosistem sosio-biofisik ini selanjutnya merupakan bagian kesatuan yang lebih besar, yaitu kosmos. Pandangan tradisional orang Maluku Utara tentang kedudukan dirinya dalam kosmos dapatlah diambil sebagai contoh. Hidding pernah berkata: “Manusia adalah bagian dalam dan dari satu kesatuan besar. Sebagai bagian kesatuan besar itu di dalam dirinya pada prinsipnya terletak pula kekuatan hidup kesatuan besar itu”. Dibagian lain Hidding pernah menerangkan “bahwa mengerti pertama – tama berarti dapat menunjukkan tempat dalam keseluruhan yang ditempati oleh sesuatu dan hubungan bagia ini dengan lain – lain bagian. Semua mempunyai tempat dan tidak ada sesuatu yang berdiri sendiri”. Nampaknya pandangan ekologik yang bersifat holistik. Dalam teori kebatinan Jawa, segala sesuatu yang ada dan hidup pada pokoknya satu dan tunggal. Manusia dipandang sebagai percikan Zat Illahi (hidup) yang meliputi segala sesuatu. Manusia, merupakan salah satu menifestasi imanensi Tuhan Yang Maha Esa.

Pandangan tersebut mengungkapkan manusia adalah bagian dunia besar. Manusia menganggap dirinya sebagai dunia kecil dan kosmos sebagai dunia besar. Kosmos menurut pengamatannya adalah teratur. Demikian pula ada keteraturan alamiah dalam lingkungan hidup tempat hidupnya. Karena keteraturan ini tidak disebabkan oleh kegiatan manusia dan ada diluar kekuatannya, manusia menganggap adanya kekuatan yang adialami yang mengatur kosmos dan lingkungan hidupnya. Sebagai bagian dari dunia besar manusia juga dibawah pengaruh dan harus tunduk pada kekuatan adialami itu. Salah satu praktek citra ini ialah sistem petungan, yaitu suatu perhitungan kompleks untuk memilih hari dan waktu yang baik untuk aktivitas tertentu.

Sebagai dunia besar manusia juga akan menderita manakala dunia besar itu mengalami kerusakan. Oleh karena itu usaha keras dilakukan untuk mendapat keseimbangan dan keserasian antara manusia dengan penciptanya dan antara manusia dengan lingkungan hidupnya, baik lingkungan hidup biofisik maupun sosial-budaya. Oleh karena itu, walaupun sistem biofisik adalah sumber daya bagi manusia, namun eksploitasi-Nya diatur dengan saksama didasarkan pada pengalaman empirik. Berburu, menangkap ikan, pertanian dan membuka hutan diatur dengan hukum sosial yang ketat. Pelanggaran terhadap hukum itu akan mendapat sangsi, baik dari masyarakat maupun dari Tuhan. Dengan pengaturan tersebut dapatlah dihindari terjadinya eksploitasi- lebih pada flora dan fauna. Pengaturan yang didasarkan pada pengalaman empirik itu menumbuhkan kearifan ekologi.

Salah satu contoh kearifan ekologi ialah pengolahan tanah pegunungan. kerusakan tersebut disebabkan oleh beberapa hal.

Pertama: antara citra lingkungan dengan keadaan lingkungan yang nyata selalu terdapat perbedaan. Perbedaan ini menyebabkan ketidaksempurnaan dalam pengelolaan lingkungan. Hal ini terutama terdapat hal terjadi perubahan lingkungan yang tidak terekam oleh masyarakat, sehingga citra lingkungan tetap tdiak berubah dalam kondisi lingkungan yang berubah. Pengelolaan lingkungan pun tidak berubah dan tidak sesuai dengan lingkungan yang telah berubah. Salah satu contoh ialah kenaikan jumlah penduduk pada peladang berpindah. Selama perladangan berpindah itu berjalan normal, yaitu daur perladangan cukup lama sehingga hutan dapat pulih sebelum ditebang lagi, sistem pertanian itu tidak merusak. Tetapi dengan bertambahnya jumlah penduduk yang sering di sertai pula dengan berkurangnya luas hutan yang tersedia untuk perladangan itu makin menjadi pendek. Akhirnya daur itu menjadi terlalu pendek untuk dapat pulihnya hutan sebelum hutan itu di tebang lagi. Terjadilah kerusakan lingkungan.

Kedua: sering tanda kerusakan lingkungan tidak terekam oleh masyarakat karena masyarakat menjadi terbiasa dan menyesuaikan diri dengan penurunan kualitas lingkungan yang terjadi secara bertahap dalam jangka waktu yang panjang. Kerusakan itu baru disadari setelah terlambat dan bersifat tidak terbalik kan lagi. Kesulitan ini banyak terjadi pada proses erosi tanah, pencemaran udara dan air, intrusi air laut dan keam kesan tanah.

Ketiga: manusia tidak selalu bertindak rasional sesuai dengan citra lingkungan yang mereka miliki, terutama jika manusia harus memenuhi kebutuhan jangka pendek sehari – hari, seperti pangan, rumput, untuk ternak dan kayu bakar. Keadaan ekstrem telah banyak terjadi di Amerika Serikat dan Afrika serta menimbulkan masalah yang disebut pengurungan. Di Indonesia pun tahap awal pengurungan mulai terlihat di banyak tempat. Di negara maju pun sikap irasional terjadi, misalnya: pencemaran udara yang berasal dari gas limbah mobil yang kini menjadi masalah besar di Eropa dan Amerika Serikat dengan terjadinya hujan asam.

Keempat: sementara faktor – faktor tersebut sebelumnya tidak disengaja karena tidak adanya kesadaran akan bahaya, kini terdapat pula kerusakan lingkungan karena ketamakan. Misalnya, orang tau bahwa membangun perumahan dan perhotelan di daerah yang sebenarnya berfungsi sebagai daerah resapan air adalah berbahaya. Tetapi karena ketidak pedulian dan karena tergiur oleh keuntungan yang besar orang toh membangunnya juga, kerusakan hutan juga banyak terjadi karena keinginan untuk mendapatkan keuntungan yang besar dalam waktu yang sesingkat – singkatnya. Di Indonesia dengan sikap manusia terhadap lingkungan telah berubah. Arus informasi, energi dan materi dari sistem sosial ke sistem bidik telah merupakan sarana untuk mendapatkan mengeksploitasi sumberdaya biofisik sebesar – besarnya. Orang yang menjadi tidak peduli lagi terhadap kerusakan lingkungan. Apabila di dunia barat kerusakan lingkungan disebabkan teknologi eksploitasi yang mereka kembangkan sendiri, di kota banyak kerusakan ditimbulkan oleh teknologi yang kita impor. Yang harus disalahkan bukan teknologinya itu, melainkan sikap kita yang tak peduli terhadap kerusakan lingkungan. Kita menghadapi ironi bahwa sementara sikap ilmiah kita yang eksploitatif terhadap lingkungan telah melejit. Karena itu masalah besar yang kita hadapi ialah untuk dapat mengembangkan sikap dan kemampuan ilmiah serta teknologi, tanpa menggeser sikap yang ingin memelihara dan serasi dengan lingkungan menjadi sikap yang eksploitatif dan merusak lingkungan.

banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250 banner 650250