Jauh sebelum BPJS Kesehatan heboh menjadi sorotan banyak orang, Menteti Keuangan Sri Mulyani Indrawati, sudah meramal BPJS Kesehatan bisa tekor Rp 28 triliun. Karena kata Menteri Keuangan yakin adanya indikasi kecurangan. (detikFinance, 30 Juli 2019). Masalahnya yang ganjil, mengapa justru indikasi kecurangan itu tidak diusut dan dituntaskan terlebih dahulu, baru kemudian melakukan pembenahan. Tapi toh prakteknya pemerintah dan BPJS justru latah menaikkan tarif iuran yang semakin menambah beban berat bagi warga masyarakat. Padahal pelayanan terhadap peserta BPJS Kesehatan masih dominan mengecewakan masyarakat yang tidak mendapat pelayan yang memuaskan dan tak maksimal dari sejumlah rumah sakit yang lambat dibayar oleh pihak BPJS Kesehatan atau pemerintah.
Keluhan sejumlah dokter dalam satu kesempatan diskusi terbatas, ternyata tidak bisa maksimalnya pelayanan dari pihak rumah sakit pada warga masyarakat, bukan suatu kesengajaan dari pihak rumah sakit maupun pelayan jasa kesehatan seperti dokter dan perawat. Tapi memang biaya untuk itu sangat terbatas. Kecuali itu juga memang nilainya rendah, uang pengganti dari pihak BPJS Kesehatan atau pemrintah pun dominan lambat. Arau bahkan lebih sering dan banyak menunggak Jadi untuk rumah sakit yang baru bangkit atau baru menata keuangannya — karena belum kuat dananya — pasti kelimpungan agar dapat dan mampu mengatasinya.
Akibat dari pembayaran pihak BPJS Kesehatan kepada rumah sakit untuk menutup biaya yang sudah dikeluarkan baik untuk jasa perawatan dan obat-obatan serta biaya lainnya, pihak rumah sakit hanya bisa angkat tangan. Posisi dari para pengelola rumah sakit jadi semacam kelinci diantara badak dan gajah yang bringas untuk saling menggagahi atau memperkosa. Jadi pemaksaan untuk menjadi anggota BPJS Kesehatan pun janganlah jadi terkesan adanya pemerkosaan pada warga masyarakat yang bel mampu serta masih sibuk mementingkan isi perut dan keperluan lain yang lebih mendesak.
Sejumlah rumah sakit toh tidak sedikit yang sudah mengaku kalah dan pasrah serra menyerah. Sebab untuk menutup biaya yang sudah bertumpuk-tumpuk harus mereka tanggung dan tutupi sendiri terlebih dahulu itu, tak juga sanggup mereka talangi, karena bukan hanya penyedia jasa saja yang kewalahan, tapi juga juga pemasok obat-obatan dan perlengkapan lain yang dibutuhkan untuk pengobatan dan perawatan.
Kesaksian ini merupakan resume dari keluh kesah tenaga medis yang berhubungan langsung dalam ikatan kerjasama antara BPJS Kesehatan dengan pihak rumah sakit, baik untuk rumah sakit negeri apalagi yang dikelola oleh pihak swasta.
Jadi warga masyarakat yang selama ini cenderung menuding pihak rumah sakit yang tak mau memberi pelayanan itu tidak sepenuhnya benar, karena pihak rumah sakit juga banyak yang menjadi korban, karena biaya yang sudah dikeluarkan iberbulan-bulan itu jumlahnya tak sedikit yang tertunda, tidak bisa langsubmng dibayar penggantiannya oleh pemerintah atau dari BPJS Kesehatan.
Tudingan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati tentang potensi tekornya pihak BPJS Kesehatan sebesar Rp 28 triliun hingga akhir 2019 boleh saja terindikasi dari terjadi fraud. Karena fraud atau kecurangan itu bisa dikarenakan over klaim pada sistem layanan BPJS Kesehatan secara menyeluruh. Mulai dari data peserta sampai dengan sistem rujukan, antara Puskesmas, rumah sakit, ke BPJS, serta sistem tagihan diakui Sri Mulyani Indrawati perlu diperbaiki. Indikasi dari kemungkinan terjadi fraud, ini pun perlu di-address, katanya, ketika berada di gedung Bank Indonesia, Jakarta. (30 Juli 2019). Sri Mulyani Indrawati juga menceritakan Presiden Jokowi dan Wapres Jusuf Kalla (JK) sudah sepakat meminta Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan untuk membenahi sistem pelayanan secara menyeluruh. Salah satunya adalah menyeimbangkan antara iuran dengan manfaat yang didapatkan.
Alasannya, karena hasil audit BPKP ditemukan over klaim karena banyak tagihan yang tidak sesuai fakta. Kecuali itu, BPJS Kesehatan juga diminta membangun sistem, dan bisa mengatasi terjadi fraud, seperti over klaim, tidak ada pasiennya tetapi dibuat diklaim fiktif.
Selain itu, pemerintah daerah juga diminta memverifikasi data kepesertaan lebih ketat, demi untuk memberi layanan yang sesuai dan maksimal. Karena, banyak peserta BPJS Kesehatan yang baru mendaftar saat mengalami masalah atau sakit. Artinya masyarakat pun menjadi bagian dari tudingan kesalahan yang telah menbuat BPJS Kesehatan menjadi tidak segat. Terancam bangrut.
Jadi jelas pemaksaan jadi anggota BPJS Kesehatan dan menaikkan tarif iuran dengan semena-mena — seratus persen– sungguh tidak mendidik. Azas musyawarah mufakat pun jadi terabaikan.
Jakarta, 7 September 2019
Komentar