Oleh: Andreansyah Al Gandori
(Pegiat Sosial dan Pendidikan)
Program kuota gratis untuk Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) di sisi lain bermanfaat dan di sisi lain tidak merakyat. Hal ini bisa dilihat dari strata sosial masyarakat Indonesia dan tipologi daerah yang berbeda-beda.
Mendikbud terkesan pragmatis dalam kacamata pendidikan tanpa memikirkan tipologi daerah di Indonesia. Itulah mengapa program kuota gratis tidak efisien bagi sebagian besar kalangan pelajar.
Pak Nadiem, Indonesia ini negara kepulauan yang dimana kita ketahui bersama bahwa pembangunan belum merata. Jangankan punya HP, rumah-rumah mereka saja belum tersentuh listrik, apalagi jaringan Internet. Uang sehari-hari terkadang hanya cukup untuk keperluan makan dan minum.
Jika Pak Nadiem berbicara tentang daerah Tertinggal, Terdepan dan Terluar (3T), jangan ajak mahasiswa untuk mengajar di pelosok dengan embel-embel dapat 700 ribu per bulan, lalu seperti apa nasib guru honorer yang setiap bulannya hanya digaji dibawah 700 ribu. Lebih baik fasilitasi dan gaji guru-guru honorer tersebut dengan gaji yang layak apabila daerah 3T boleh melaksanakan pembelajaran secara luring.
Pandemi sudah hampir setahun lebih, tapi yang digalakkan hanya program kuota gratis saja, konsep merdeka belajar dengan memanfaatkan dana BOS pun tidak maksimal. Sebelum pandemi COVID-19 pun dana BOS dipergunakan untuk membiayai operasional sekolah dan guru. Lalu apa bedanya saat pandemi dan tidak? Sama saja bukan.
Pak Nadiem lalu dimana bentuk manifestasi sila ke-5 Pancasila yang berbunyi “keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” dalam sektor pendidikan, kalau setiap bulan hanya memberikan kuota gratis?
Berdasarkan pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945, yaitu “Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan”. Untuk mewujudkan pendidikan yang layak, maka harus ditunjang pulang dengan fasilitas dan prasarana yang memadai.
Pembangunan infrastruktur sekolah-sekolah di daerah 3T juga sangat penting, tidak hanya memberikan kebijakan kepada sekolah untuk mengelola dana BOS, namun alhasil fasilitas dan prasarana sekolah pun tidak memadai.
Para peserta didik di daerah 3T meskipun dalam kondisi yang terbatas, juga layak untuk merasakan pendidikan di era revolusi industri ini. Jangan ada lagi bahasa ketertinggalan zaman.
Seperti apa yang di katakan oleh Nelson Mandela “Pendidikan adalah senjata paling ampuh untuk mengubah dunia”. Maka dari itu maju atau tidaknya peradaban negeri ini ditentukan oleh pendidikan anak bangsa.