Oleh:
M. Kubais M. Zeen
Editor, Penulis Freelancers. Menulis di Koran TEMPO,
Seputar Indonesia, Koran SINDO edisi Makassar.
“Roda hidup selalu berputar”
Sayup-sayup terngiang makna ungkapan para bijak yang populer hingga di kalangan masyarakat strata bawah di kota metropolitan hingga pelosok negeri itu, saat memulai tulisan ini. “Yang kaya jatuh miskin, yang tak berpunya jadi gelimang harta, yang bertahta tersurut di bawah kuasa, terhina dihina jadi mulia, dan seterusnya.
Obama—sapaan akrab-populer H. Usman H. Sidik, sebagaimana banyak orang sukses di dunia, lahir dari keluarga yang tak berpunya, mengarungi hidup penuh duka, sedikit suka. Kedua orang tuanya petani di Orimakurunga, Kayoa Selatan. Karena kondisi hidup yang kian miris, ibu ayahnya memutuskan hijrah di transmigrasi Cabang Dua, Saketa, Gane Barat, Halmahera Selatan, Maluku Utara, demi mencari penghidupan baru.
Obama yang hidupnya sendu dan “keras” tak surut sekolah dengan asa bisa mengubah nasib. SD-SMP diselesaikan di kampung halaman. Ia memutuskan menjadi buruh di Pelabuhan Bastiong, Ternate, ketika kelas tiga di SMA Kartini, Kayoa, tuah kenakalan. Suatu hari di tahun 1992 itu, ia tengah mengangkut barang di pelabuhan berpapasan dengan Edi Hut—sapaan akrab Rusdi Somadayo. Edi yang masih kental pertalian darah, tersentak. Karena Obama punya keinginan kuat menuntaskan sekolah, Edi mengulurkan tangan. Sembari mengurus semua persyaratan administrasi ujian, Edi mempertemukannya dengan Drs. Yunus Namsa (alm), Wakil Kepala Sekolah di SMA Muhammadiyah, Ternate, membuka jalan Obama ujian ebtanas. “Saya nyaris putus sekolah”.
Setelah sekitar delapan tahun menekuni pekerjaannya di pelabuhan, Obama yang dikenal pemberani melamar kerja di PT. Barito Pasific Timber Group, Sidangoli. Di perusahaan kayu milik keluarga Cendana ini, ia diberi job penanaman pohon kayu yang tak dikira roda hidupnya berputar lagi, jadi jurnalis. “Suatu kali, saat menanam kayu di Gane Barat, saya bertemu dengan seorang wartawan yang sedang meliput di perusahaan. Dia mengajak saya jadi wartawan, akhirnya saya jadi wartawan.”
Obama cukup lama menggeluti profesi jurnalis dan pernah jadi kontributor televisi nasional di wilayah Maluku Utara. Pergaulannya semakin luas. Pegawai dan pejabat di pemerintahan, militer, dan kepolisian, ia akrabi. Begitu pula dengan kuasa modal berdarah Tionghoa.
Sambil meliput berita, Obama juga berbisnis untuk menambah penghasilan. Tak lama ia mempersunting kekasihnya, Eka Dahlia, jebolan Teknik Arsitek Universitas Muslim Indonesia, Makassar, yang telah pegawai negeri sipil. Pasangan ini dikarunia dua anak.
Laksana pribahasa “banyak kawan banyak rezeki.” Dari pergaulannya yang begitu luas, Obama meretas jalan ke Jakarta. Di ibu kota negara ini, ia “senyap”, tapi bukan berarti diam tak bergerak. Selama beberapa waktu, Obama yang ketiban banyak rezeki dari bisnisnya, mengejutkan banyak pihak di daerah, terutama kalangan jurnalis. Sebuah media cetak harian ia dirikan: Seputar Malut, di-launching di Hotel Corner, Ternate. Karena fokus mengurus bisnisnya, media ini dia serahkan sepenuhnya pada sang adik, Samsudin H. Sidik.
Tak sampai di situ. Obama kembali mengejutkan banyak pihak saat diamanahi dua jabatan strategis di DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): Wakil Sekretaris Jenderal periode 2014-2019, dan Wakil Bendahara Umum, 2019-2024. Dengan jabatan ini, Obama mengukir sejarah sebagai satu-satunya jurnalis asal Maluku Utara yang banting setir jadi pengusaha sukses dan pengurus partai besar di pusat. Meminjam istilah driver yang dikemukakan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, Obama adalah seorang yang bermental driver. Bukan passenger.
Sekalipun kehidupnya sudah jauh membaik, tak seperti dulu lagi, jasa besar seorang keluarga di saat ia nyaris putus sekolah 28 tahun lalu itu selalu dikenang. “Tidak bisa dibayangkan, kalau saat itu saya tidak ketemu Edi, mungkin saja sampai sekarang saya masih jadi buruh di Pelabuhan Bastiong.”
Banyak orang yang pernah saya jumpai, setanah kelahiran, keluarga, seprofesi, berdecak kagum. Mengakui tangga keberhasilan yang digapai Obama itu, tak pernah secuil pun terlintas dalam benak atau “kamus dan rumus kehidupan” mereka. “Dulu lain, sekarang lain,” istilah zaman dahulu, juga sekarang.
Ada yang penasaran, lalu bertanya, resep apa gerangan yang membuat lelaki tinggi semampai itu bisa sukses? Sebagai anak, Obama, sebagaimana manusia umumnya, sangat menghormati ibu ayahnya. Sewaktu masih jurnalis televisi nasional, ia pernah tegaskan, siapapun yang setitik saja melukai ibu ayahnya, tak tunggu waktu lama akan ia berikan “hadiah.”
Mengapa harus ibu ayah? Tanpa kesampingkan peran bidadari kedua—sebutan untuk istri, seperti para tetua di kampung-kampung dan lirik kasidah, di hidup Obama, ibu ayahnya keramat di dunia. Langit tak kan benderang bila keramat gulita. Demkian sebaliknya. Dalam bahasa agama disebut ridha Tuhan selaras dengan ridha ibu..ibu..ibu, lalu ayah.
Obama tak hanya membuat ibu ayahnya menyungging senyum bahagia. Keluarga, sahabat, kawan, juga orang-orang yang pernah menggores luka pada tubuh dan segumpal darahnya, masyarakat yang dikenal maupun tidak, ia berbagi. Semua manusia sama, dan ia tahu, sebagian yang ada padanya ialah kepunyaan orang lain yang ditipkan Tuhan pengatur rezeki, kepada dirinya untuk ditunaikan.
Pernah suatu kali berkunjung, seorang kawan ia percaya membawa tas berisi uang tak sedikit. Tak dikira, saat kembali mengambil tas yang ketinggalan di dalam kapal cepat, jantungnya mau copot: tiga puluh juta hilang. Si kawan pengecer minyak itu ketakutan sekali, rasa-rasa pipis celana, pening tujuh keliling memikirkan bagaimana cara mengganti uang yang seumur hidup baru ia pegang sebanyak itu. “Tak perlu kau cari, jangan risau, itu sudah rezekinya dia,”suara Obama mengejutkannya, tak percaya. Berulang kali bersyukur, darahnya mengalir normal setelah Obama meyakinkan kebenaran ucapannya.
Berbagi merupakan fitrah manusia, tapi tak semua mampu berbagi tatkala di puncak. Meminjam ungkapan sastrawan M. Aan Mansyur, “dan yang tak di puncak”, Obama makin rajin berbagi dengan sesama saat di puncak, tapi ia tak pamrih. Dalam ajaran agama disebut keluasan hati yang tulus ikhlas. Inilah salah satu jalan terpenting manusia sebagai hamba menghampirkan diri “bemesraan” dengan Tuhan.
Dalam kacamata kecerdasan, kebiasaan berbagi kebaikan jadi bagian dari kecerdasan spiritual. Ahli tafsir M. Quraish Shihab menyebutnya “kecerdesan tertinggi yang paling menentukan kesuksesan seseorang dalam kehidupannya, kini maupun di masa depan.” Berbagi karena peduli merupakan investasi sosial, atau modal sosial (social capital) yang menyenangkan di aspek kehidupan yang lain.
Di titik ini, Obama, terlepas dari kekurangan dan kehilafannya sebagai manusia, barangkali seperti dikatakan budayawan Emha Ainun Nadjib, hidupnya tak hanya jadi rahmat bagi diri, ibu ayah, keluarga, melainkan juga kepada sesama manusia. Lama-kelamaan, jika istiqamah dengan berbagi, tak terlampau berlebihan untuk dikatakan, bisa jadi rahmat bagi seluruh alam.
Komentar