(Oleh: Sahib Munawar. S.Pd,I. M.Pd)
Kajian keislaman yang semata-mata didasarkan pada metodologi klasik konvensional ini melahirkan wajah Islam yang kakuh, teosentris dan sarat dengan Dogma. Belum lagi kalau kepentingan teologis dan politik ikut bermain memformatkan islam, maka islam akan hadir dengan wajah yang menyeramkan, Segala sesuatu akan dilihat dari dua sisi yang saling berlawanan: Muslim,kafir, mumin, musrik, masalah halal-haram & kawan –lawan, itu yang di persoalkan, kebenaran dianggap hanya milik mereka yang lain dianggap salah dan memvonis kafir” seolah Agama itu dibanggung dengan etika ketakutan. Sebentara disisi lain modernitas begitu cepatnya menggelayut dalam setiap detak nadi kehidupan. Permasalahan kompleks silih berganti menghantam sendi-sendi kehidupan umat islam yang notabene masih hanyut dalam mimpi-mimpi indah kejayaan dimasa silam, seraya melantunkan al-islam yalu wala yula alayh.
Umat islam tidak akan dapat keluar dari belenggu keterburukan ini , kecuali mereka mau merubah cara pandang agama mereka sendiri dan sekaligus terhadap agama orang lain. Tentu merubah sesuatu yang sudah terlanjur “ kronis ini harus dimulai dari sesuatu yang paling mendasar, yaitu metodologi kritis yang betul-betul sesuai degan kebutuhan dan sifat kritis , sifat kritis diharapkan dapat membongkar dogma dan ortodoksi dalam tubuh umat Islam.
Penulis mencobah menawarkan sebuah metodologi Hermeneutika sebagai jembatan untuk memahami teks keagamaan dierah modern, dalam tradisi keilmuan islam klasik ada dua cara memahai al-qur’an yaitu tafsir & tawil tafsir dipahami sebagai cara untuk mengurai bahasa,konteks dan pesan-pesan moral yang terkandung didalam teks atau nas kitab suci, dengan demikian, teks berposisi sebagai subyek, sedangkan tawil adalah cara untuk memahami teks dengan menjadikan teks atau lebih tepat disebut pemahaman, pemaknaan dan interpretasi terhadap teks sebagai objek kajian. Hanya saja kajian istilah tawil dalam tradisi ulumul qur’an klasik yang tidak lain & tidak bukan adalah at-tawil albatani yang agaknya ekuivalen dengan tafsir al-ishari.
Istilah Hermeneutika berasal dari bahasa yunani yang berarti menafsirkan, Abdullah Saed adalah tokoh yang getol menyuarakan pentingnya hermeneutika dalam memahami teks keagamaan, pendekatan dalam menafsirkan al-qur’an dapat diklompokan menjadi dua yaitu” tekstualis dan kontekstualis, pendekatan model pertama dan kedua ini memperlakukan kontekstual al-quran sebagai acuan dalam memahami pesan yang terkandung didalam teks tanpa mempertimbangkan konteks yang itu harus di proritaskan, sebab hadirnya teks karna ada konteks khaled M, Aou menyatakan “ fiqih yang semestinya bersifat otoritatif’ menjadi fiqih otoritas atas nama tuhan dan lahirnya kelompok muslim puritan-fundamentalis juga dipicu oleh pemaknaan teks keagamaan yang bercorak literalis tekstual, sebaliknya penafsiran yang rela membuka diri untuk melakukan kontekstualisasi terhadap teks akan menghadirkan Islam yang rahmatan lil alamin dan Sali li kuli zaman wamakan , dalam aspek kehidupan. Muhammad Arqoun salah satu pemikir Islam kontemporer dari kegilisahannya terhadap keberagamaan umat islam yang cendrung ortodoks, dogmatis dan juga terhadap kajian-kajian keislam yang bersifat logosentris. Berangkat dari kegilisahan arqoun akan ruwetnya nalar islam maka dia menawarkan metode historisme dalam bentuk kritik nalar islam, teks-teks klasik didekonstruksi menuju rekonstruksi, arqoun melakukan rekonstruksi atau membangun kembali wacana pemikiran agar bisa diperoleh kesadaran dari berbagai penyelewengan, keterbatasan & pembekuan wacana, Upaya arqoun bertujuan untuk menghindari segala sesuatu yang bersikap suprioritas atau klaim serba paling otentik dan paling benar dalam diskursus, Kompleksitas permasalahan islam kontemporer meniscayakan adanya pembacaan kritis, tidak hanya berkutat dalam ranah nalar islam seperti yang ditawarkan Arqoun tapi harus dilihat dari aspek-aspek lain yang lebih membumi dengan kebutuhan umat manusia modern.
Istilah Hermeneutika dalam metodologi tafsir sebagaimana yang dirumuskan Fazlu Rahman salah satu pemikir islam pembaharu, menurutnya persoalan metodologis juga menduduki posisi yang sangat penting bahkan sangat penting dalam studi qur’an, menjadi persolan yang sangat penting dikarenakan perkembangan zaman yang semakin pesat juga persoalan yang dihadapi manusia yang sedemikian kompeks, disini rahman mencoba merumuskan sebuah metodologi dalam membaca dan memahami ayat Al-qur’an dikenal dengan hermenutika al-qur’an. Istilah metodologi hermenutika al-qur’an disamping istilah interpretasi al-qur’an, Hermenutika al-qur’an sangat dipengaruhi oleh pandangan-pandangan tentang wahyu dan al-qur’an, rahman terkait dengan hermenutikanya adalah:
1. Al-qur’an merupakan kalam Allah dan sekaligus dalam pengertian yang biasa kata-kata Nabi Muhammad. Wahyu al-qur’an merupakan respon ilahi melalui pikiran Nabi terhadap setuasi-setuasi sosio- moral dan historis masa Nabi.
2. Al-qur’an merupakan ajaran yang koheren dan kohesif.
3. Landasan al-qur’an adalah moral dimana ia menekankan monoteisme dan keadilan social, al- qur’an sebuah buku prinsip dan seruan bukan sebuah dokumen hukum , karna al-qur’an adalah dokumen yang menyeruhkan kebajikan dan tanggung jawab moral yang kuat.
4. Al-qur’an adalah dokumen untuk manusia, bukan risalah mengenai Tuhan, kitab ini menamakan dirinya sebagai petunjuk bagi manusia ( Hudan lin nas) sebagai seruan untuk kembali ke jalan yang lurus. Oleh karena itu al-qur’an tidak hanya bersifat deskriptif (gambaran) tapi juga bersifat preskriptif ( memberikan ketantuan). Baik kandungannya maupun kekuatan bentuk penyajiannya tidak hanya sebagai seruan kepada manusia dalam pengertian biasa, namun juga untuk mengubah tingkah laku mereka.
Pandangan fazlu rahman di atas sangat berpengaruh pada metode dan pendekatan yang ditawarkannya.
Tuntunan berfikir dalam menginterpretasi wahyu tentu ditunjukan pada akal manusia walaupun dengan sangat terbatas mengetahui keseluruhan ajaran wahyu. Akal diberi kekuasaan untuk saling bertukar pikiran atau saling melengkapi dengan wahyu karena keduannya mempunyai peran penting, baik sebagai peletak dasar dalam suatu peristiwa maupun sebagai alat interpretasi atau inspirasi wahyu. Wahyu tidalah dipahami hanya sebagai sesuatu yang turung dari Allah swt, keterlibatan akal memiliki peran penting dalam menafsirkan wahyu berdasarkan konteks dimana ajaran islam diterapkan dengan demikian harus dipahami secara kontekstual walaupun semua aliran-aliran teologi dalam islam memberikan pemahaman yang berbeda secara subtansi mengenai keterkaitan wahyu dan akal diserta porsi keduannya.
Memahami islam tidaklah semudah mempertemukan wahyu dan akal pada tataran normative, melainkan aspek doktrin dalam ajaran islam yang telah bersentuhan dengan aspek sosio-kultural dimana islam hadir sebagai agama yang menawarkan solusi atas permasalahan zaman yang kompleks, Harun Nasution menemukakan bahwa wahyu dan akal mempunyai fungsi tersendiri yaitu wahyu fungsinya untuk meluruskan akal dan akal fungsi untuk menginterpretasikan wahyu, menurut Azra seorang cendikiawan muslim mengatakan bahwa” Islam selain mengandung klaim ekslusif, juga mengandung klaim inklusif, Klaim ekslusif yang dimaksudkan adalah ajaran islam yang menyentuh tataran formal yang tidak dapat diganggu gugat otentiknya, seperti kalimat syahadat ( persaksian). Sebentara kalim inklusif dapat dilihat pada dua tingkatan yaitu” doktrin ,konsep dan gagasan pada tingkatan historis. Pada tataran konsep dan gagasan misalnya terlihat jelas dalam konsep islam mengenai kerukunan hidup antara agama yang berkaitan dengan doktrin islam tentang hubungan sesama manusia( hablun minannas). Pemaparan doktrin islam tentang doktrin kerukunan diatas dipadukan dengan bukti-bukti historis, tidak hanya di zaman Nabi saw, al-khulafa al–rasyidin, hingga abad terakhir tapi juga masa kekenian atau modern.
Klaim inklusivisme bukan dalam krangka menyeret doktrin ajaran islam mengekuti arus perubahan zaman tanpa mempertimbangkan ajaran-ajaran dasar islam, melainkan disesuaikan dengan konteks zaman yang sedang dihadapi. Pada tataran ini, aspek historis dalam penyebaran islam mendapatkan tempat dalam kajian keislaman, sehingga istilah” Islam shali likuli zaman wamakan” mampu dipahami apabila islam dan keabadian doktrin yang dibawanya diperhadapkan pada sejarah dan konteks sosio-kultural masyarakat. Penyebaran dan perkembangan islam dengan kemunculannya berbagai macam realitas baru menjadi persoalan yang urgen didiskursuskan kemudian, kenyataan yang harus dihadapi bahwa islam tidak hanya bergumul dengan konsepsi kesejarahan tetapi juga dengan kenyataan bahwa ia ikut serta dalam proses tersebut sebagai subyek yang ikut menentukan peredaran zaman dan sebagai obyek yang terlibat didalamnya. Gus –Dur menilai bahwa islam seharusnya tidak menampakkan diri secara ekslusif, tetapi lebih berwajah inklusif dengan tidak menonjolkan simbol-simbol keislaman, Islam dimata Gus-dur bukanlah suatu doktrin beku yang menutup peluang bagi adanya interpretasi, tetapi merupakan teks terbuka yang selalu siap terhadap setiap penafsiran baru berkaitan dengan isu-isu dalam dinamika perkembangan zaman.
Islam itu konteks, karna wahyu tidak serta merta turung dari langit tanpa konteks, hal ini senada dengan pendapat Ulil Absar Abdalla” Islam Itu kontekstual dalam pengertian nilai-nilainya yang universal harus diterjemahkan dalam konteks tertentu, misalnya konteks arab,melayu, asia tengah dan seterusnya, tetapi bentuk-bentuk islam yang kontekstual itu hanya ekspresi budaya yang kita tidak wajib mengikutinya’ oleh karena itu, umat islam tidak sebagaiknya mandek dengan melihat contoh dimadina saja, sebab kehidupan manusia terus bergerak menuju perbaikan dan penyempurnaan, baginya wahyu terus bekerja dan turun kepada manusia, wahyu verbal memang telah selesai dalam qur’an, tetapi wahyu non verbal dalam bentuk ijitihad akal manusia terus berlangsung.
Dalam metodologi Hermeneutika sebagai jembatan untuk memahami teks keagamaan di erah sekarang, agar supaya pemahaman keagamaan kita tidak kelihatan kaku, konservatif, terbelakang tanpa sadar bahwa zaman terus berdialektika. Maka hermeneutika sebagai metodologi untuk menafsirkan teks keagamaan di erah modern yang semakin pesat, dikarenakan pengaruh metodologi klasik konvesional yang kakuh dan dogmatis.
Labuha, Halmahera Selatan.
Jum’at 28, Februari, 2020.