Proses Pembunuhan Secara Pasif Dari Keberadaan TPA di Desa Tabadamai

Oleh: Ismail Ade

Sampah Rumah Tangga adalah sampah yang berasal dari kegiatan sehari-hari dalam Rumah Tangga yang tidak termasuk tinja dan sampah spesifik. Sampah sejenis sampah rumah tangga adalah sampah rumah tangga yang berasal dari kawasan komersial, kawasan industri, kawasan khusus, fasilitas sosial, fasilitas umum, dan/atau fasilitas lainnya. Pengelolaan sampah adalah kegiatan yang sistematis, menyeluruh, dan berkesinambungan yang meliputi pengurangan dan penanganan sampah. Lalu apa yang di maksud dengan TPA? Tempat pemrosesan akhir yang selanjutnya disingkat TPA adalah tempat untuk memroses dan mengembalikan sampah ke media lingkungan.

Keberadaan TPA di wilayah konservatif desa Tabadamai Kecamatan Jailolo Selatan Kabupaten Halmahera Barat, merupakan sebuah kebijakan yang tidak sesuai dengan aturan yang di buat oleh Pemerintah Repoblik Indonesia sebagaimna yang dijelaskan dalam peraturan pemerintah RI No.81 Tahun 2012 tentang pengelolaan sampah rumah tangga dan sampah sejenis sampah rumah tangga. Dijelaskan dalam peraturan pemerintah tersebut bahwa dalam menyediakan TPA pemerintah Provinsi dan/atau kabupaten/kota, melakukan pemilihan lokasi sesuai dengan rencana tata ruang wilayah. Akan tetapi kebijakan pemerintah Propinsi Maluku Utara dan atau Kabupaten Halmahera Barat tidak sesuai dengan apa yang di amanatkan dalam peraturan pemerintah RI tersebut, dan bahkan tidak sesuai dengan Rencana
Tata Ruang wilayah Propinsi Maluku Utara dan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Barat.

Di dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi Maluku Utara, pembangunan TPA dilakukan dan di tempatkan di Desa Kaiyasa kec.Oba Utara, dan dijelaskan juga dalam Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Halmahera Barat TPA di tempatkan di Sahu akan tetapi kebijakan pemerintah Provinsi Maluku Utara dan pemerintah Kabupaten Halmahera Barat menetapkan dan membangun TPA diDesa Tabadamai. Padahal Peraturan Pemerintah RI No.81 Tahun 2012 jo Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Republik Indonesia Nomor 03/Prt/M/2013, telah menjelaskan bahwa pengelolaan sampah ini bertujuan untuk menjaga kelestarian fungsi lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat dan menjadikan sampah sebagai sumber daya, akan tetapi, TPA yang suda masuk dalam Tahapan Pembagunan itu tidak diiyakan oleh Pemerintah Propinsi dan Pemerintah Kebupaten sebgaimana yang terdapat dalam Peraturan diatas, pembuktianya adalah bahwa Desa Tabadamai merupkan salasatu daerah yang rawan akan banjir, dan bahkan pembagunan TPA kalau disaksikan berdekatan dengan sungai (kali) yang di mana, masyarakat Tabadamai dan sekitarnya menimbang hidup di sungai tersebut seperti mengkomsumsi dan lain sebagainya, padahal Dalam peraturan pemerintah RI No.81 Tahun 2012 telah memingatkan dan bahkan menjelaskan secara jelas bahwa, pembengunan TPA harus menjunjung tinggi nila-nilai lingkungan hidup dan kesehatan masyarakat, tapi celakanya TPA yang suda masuk dalam tahapan pembangunan ini, tidak di iyakan oleh pemerintah propinsi Malaku utara dan pemerintah kabupaten Halmahera Barat dalam nilai-nilai ekologi dan kesehatan Masyarakat di lingkat TPA tersebut.

Dalam peraturan pemerintah RI No.81 Tahun 2012 dalam pasal 23 ayat (3) poin g, menjelaskan bahwa TPA di bagun dan tidak berada di daerah banjir periode ulang 25 (dua puluh lima) tahun. Dan diketahui bahwa Tabadamai adalah salah satu daerah yang rawan akan banjir bahkan suda diakui dalam PERDA Kabupaten Halmahera Barat No.38 Tahun 2012 tentang rencana tata ruang wilayah Kabupaten Halmahera Barat Tahun 2012-2032 pada paragraph ke-5 pasal 21 ayat (4). Entah apa yang di pikirkan pemerintah dalam melakukan kebijakan tersebut, seakan-akan kebijakan tersebut merupakan pembunuhaan secara pasif terhadap masyarakat di lingkar TPA tersebut. Maka dengan itu pembangunan
TPA itu harus di batalkan.

Bila Rindu Disertakan Dengan Doa, Akan Indah Pada Waktunya

Oleh: Andri Sudin

Mungkin di antara kita telah merasakan Nuansa sebuah kerinduan, Namun perlu di ingat tidak selamanya rindu itu bernilai positif, jika Rindu tersebut tidak mampu di bendung serta di topang oleh iman yang kokoh. meskipun Rindu memiliki banyak perspektif Namun pada catatan kecil ini, penulis akan mencoba mengajak kita pada satu khakekat Rinduh yakni, rinduh pada pasangan. Rinduh menurut kamus besar Bahasa Indonesia (KBBI) artinya memiliki keinginan yang kuat untuk bertemu. Rinduh akan terasa ketika beradah jauh dari orang yang di cinta seperti ketika jauh dari orang tua saudara, teman dekat, dan pasangan maupun Suami atau istri.

Lantas siapa sangkah Rinduh tidak selalu memiliki nilai positif seperti Terkadang Rindu juga akan melahirkan kekecawaan yang histeris bilah Rinduh itu tak kesampaian. Dalam Islam Rinduh bukanlah hal yang tercelah, namun di perlukan untuk menyertai dengan kerendahan hati, kesucian dan menjaga diri. Misalnya Rinduh pada seorang istri tentunya memberikan rasa duka, bilah Rasa Rinduh itu di hantui oleh waktu dan jarak yang amat jauh, apalagi Rindu tersebut tidak kesampaian di karenakan jarak dan waktu menjadi pemisah ataukah di sebabkan adanya penyebaran Virus Corona (Covid 19).

Bilah perasaan Rindu sudah mulai memuncak dan terasa tak dapat di bendung lagi, di tambah lagi dengan godaan Saytan yang semakin kuat, serta iman yang tidak kokoh. makah kerinduan tersebut akan melahirkan rasa Histeris dalam jiwa seseorang, sehingga langkah-langkah melepaskan Rinduh terkadang pada cara-cara yang tidak islami. Oleh karenah itu, untuk membendung Rasa Rinduh yang semakin memuncak hanyalah dengan berdoah. Seperti firman Allah dalam Q.S Al-Mukmin ayat 60.
“Berdoalah kepadaku niscayah akan ku perkenankan bagimu”

Merindukan seseorang istri misalnya kadang kalah di manah kita berada dalam suatu kondisi, di saat pertemuan belum memungkinkan untuk bisah terwujud. Maka di saat seperti inilah memungkinkan kita terkadang tidak mampuh membendung Rasa Rindu yang tertanam dalam dirih. Untuk itu, penulis mengajak kita sekalian untuk menyadari bahwa hakekat Rasah Rinduh lebih indah bilah di nikmati sendirih, maka nikmatilah rasa Rinduh itu dengan berdoa, sekalipun lautan menjadi pemisah. insya Allah dengan berdoa dan tawakkal, Rasa Rinduhmu akan terwujud serta indah pada waktunya.

Setelah Nyaris Putus Sekolah

Oleh:
M. Kubais M. Zeen
Editor, Penulis Freelancers. Menulis di Koran TEMPO,
Seputar Indonesia, Koran SINDO edisi Makassar.

“Roda hidup selalu berputar”

Sayup-sayup terngiang makna ungkapan para bijak yang populer hingga di kalangan masyarakat strata bawah di kota metropolitan hingga pelosok negeri itu, saat memulai tulisan ini. “Yang kaya jatuh miskin, yang tak berpunya jadi gelimang harta, yang bertahta tersurut di bawah kuasa, terhina dihina jadi mulia, dan seterusnya.

Obama—sapaan akrab-populer H. Usman H. Sidik, sebagaimana banyak orang sukses di dunia, lahir dari keluarga yang tak berpunya, mengarungi hidup penuh duka, sedikit suka. Kedua orang tuanya petani di Orimakurunga, Kayoa Selatan. Karena kondisi hidup yang kian miris, ibu ayahnya memutuskan hijrah di transmigrasi Cabang Dua, Saketa, Gane Barat, Halmahera Selatan, Maluku Utara, demi mencari penghidupan baru.

Obama yang hidupnya sendu dan “keras” tak surut sekolah dengan asa bisa mengubah nasib. SD-SMP diselesaikan di kampung halaman. Ia memutuskan menjadi buruh di Pelabuhan Bastiong, Ternate, ketika kelas tiga di SMA Kartini, Kayoa, tuah kenakalan. Suatu hari di tahun 1992 itu, ia tengah mengangkut barang di pelabuhan berpapasan dengan Edi Hut—sapaan akrab Rusdi Somadayo. Edi yang masih kental pertalian darah, tersentak. Karena Obama punya keinginan kuat menuntaskan sekolah, Edi mengulurkan tangan. Sembari mengurus semua persyaratan administrasi ujian, Edi mempertemukannya dengan Drs. Yunus Namsa (alm), Wakil Kepala Sekolah di SMA Muhammadiyah, Ternate, membuka jalan Obama ujian ebtanas. “Saya nyaris putus sekolah”.

Setelah sekitar delapan tahun menekuni pekerjaannya di pelabuhan, Obama yang dikenal pemberani melamar kerja di PT. Barito Pasific Timber Group, Sidangoli. Di perusahaan kayu milik keluarga Cendana ini, ia diberi job penanaman pohon kayu yang tak dikira roda hidupnya berputar lagi, jadi jurnalis. “Suatu kali, saat menanam kayu di Gane Barat, saya bertemu dengan seorang wartawan yang sedang meliput di perusahaan. Dia mengajak saya jadi wartawan, akhirnya saya jadi wartawan.”

Obama cukup lama menggeluti profesi jurnalis dan pernah jadi kontributor televisi nasional di wilayah Maluku Utara. Pergaulannya semakin luas. Pegawai dan pejabat di pemerintahan, militer, dan kepolisian, ia akrabi. Begitu pula dengan kuasa modal berdarah Tionghoa.
Sambil meliput berita, Obama juga berbisnis untuk menambah penghasilan. Tak lama ia mempersunting kekasihnya, Eka Dahlia, jebolan Teknik Arsitek Universitas Muslim Indonesia, Makassar, yang telah pegawai negeri sipil. Pasangan ini dikarunia dua anak.

Laksana pribahasa “banyak kawan banyak rezeki.” Dari pergaulannya yang begitu luas, Obama meretas jalan ke Jakarta. Di ibu kota negara ini, ia “senyap”, tapi bukan berarti diam tak bergerak. Selama beberapa waktu, Obama yang ketiban banyak rezeki dari bisnisnya, mengejutkan banyak pihak di daerah, terutama kalangan jurnalis. Sebuah media cetak harian ia dirikan: Seputar Malut, di-launching di Hotel Corner, Ternate. Karena fokus mengurus bisnisnya, media ini dia serahkan sepenuhnya pada sang adik, Samsudin H. Sidik.

Tak sampai di situ. Obama kembali mengejutkan banyak pihak saat diamanahi dua jabatan strategis di DPP Partai Kebangkitan Bangsa (PKB): Wakil Sekretaris Jenderal periode 2014-2019, dan Wakil Bendahara Umum, 2019-2024. Dengan jabatan ini, Obama mengukir sejarah sebagai satu-satunya jurnalis asal Maluku Utara yang banting setir jadi pengusaha sukses dan pengurus partai besar di pusat. Meminjam istilah driver yang dikemukakan Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia, Rhenald Kasali, Obama adalah seorang yang bermental driver. Bukan passenger.
Sekalipun kehidupnya sudah jauh membaik, tak seperti dulu lagi, jasa besar seorang keluarga di saat ia nyaris putus sekolah 28 tahun lalu itu selalu dikenang. “Tidak bisa dibayangkan, kalau saat itu saya tidak ketemu Edi, mungkin saja sampai sekarang saya masih jadi buruh di Pelabuhan Bastiong.”

Banyak orang yang pernah saya jumpai, setanah kelahiran, keluarga, seprofesi, berdecak kagum. Mengakui tangga keberhasilan yang digapai Obama itu, tak pernah secuil pun terlintas dalam benak atau “kamus dan rumus kehidupan” mereka. “Dulu lain, sekarang lain,” istilah zaman dahulu, juga sekarang.

Ada yang penasaran, lalu bertanya, resep apa gerangan yang membuat lelaki tinggi semampai itu bisa sukses? Sebagai anak, Obama, sebagaimana manusia umumnya, sangat menghormati ibu ayahnya. Sewaktu masih jurnalis televisi nasional, ia pernah tegaskan, siapapun yang setitik saja melukai ibu ayahnya, tak tunggu waktu lama akan ia berikan “hadiah.”
Mengapa harus ibu ayah? Tanpa kesampingkan peran bidadari kedua—sebutan untuk istri, seperti para tetua di kampung-kampung dan lirik kasidah, di hidup Obama, ibu ayahnya keramat di dunia. Langit tak kan benderang bila keramat gulita. Demkian sebaliknya. Dalam bahasa agama disebut ridha Tuhan selaras dengan ridha ibu..ibu..ibu, lalu ayah.

Obama tak hanya membuat ibu ayahnya menyungging senyum bahagia. Keluarga, sahabat, kawan, juga orang-orang yang pernah menggores luka pada tubuh dan segumpal darahnya, masyarakat yang dikenal maupun tidak, ia berbagi. Semua manusia sama, dan ia tahu, sebagian yang ada padanya ialah kepunyaan orang lain yang ditipkan Tuhan pengatur rezeki, kepada dirinya untuk ditunaikan.

Pernah suatu kali berkunjung, seorang kawan ia percaya membawa tas berisi uang tak sedikit. Tak dikira, saat kembali mengambil tas yang ketinggalan di dalam kapal cepat, jantungnya mau copot: tiga puluh juta hilang. Si kawan pengecer minyak itu ketakutan sekali, rasa-rasa pipis celana, pening tujuh keliling memikirkan bagaimana cara mengganti uang yang seumur hidup baru ia pegang sebanyak itu. “Tak perlu kau cari, jangan risau, itu sudah rezekinya dia,”suara Obama mengejutkannya, tak percaya. Berulang kali bersyukur, darahnya mengalir normal setelah Obama meyakinkan kebenaran ucapannya.

Berbagi merupakan fitrah manusia, tapi tak semua mampu berbagi tatkala di puncak. Meminjam ungkapan sastrawan M. Aan Mansyur, “dan yang tak di puncak”, Obama makin rajin berbagi dengan sesama saat di puncak, tapi ia tak pamrih. Dalam ajaran agama disebut keluasan hati yang tulus ikhlas. Inilah salah satu jalan terpenting manusia sebagai hamba menghampirkan diri “bemesraan” dengan Tuhan.

Dalam kacamata kecerdasan, kebiasaan berbagi kebaikan jadi bagian dari kecerdasan spiritual. Ahli tafsir M. Quraish Shihab menyebutnya “kecerdesan tertinggi yang paling menentukan kesuksesan seseorang dalam kehidupannya, kini maupun di masa depan.” Berbagi karena peduli merupakan investasi sosial, atau modal sosial (social capital) yang menyenangkan di aspek kehidupan yang lain.

Di titik ini, Obama, terlepas dari kekurangan dan kehilafannya sebagai manusia, barangkali seperti dikatakan budayawan Emha Ainun Nadjib, hidupnya tak hanya jadi rahmat bagi diri, ibu ayah, keluarga, melainkan juga kepada sesama manusia. Lama-kelamaan, jika istiqamah dengan berbagi, tak terlampau berlebihan untuk dikatakan, bisa jadi rahmat bagi seluruh alam.

Corona Dan Wuhn Dalam Kajian Islam

Oleh: Sahib Munawar. S.Pd,I. M.Pd

Dunia di hebohkan dengan wabah yang mengerihkan serta mematikan dari Kota Wuhan, Cina itu. Banyak korban yang di temukan lebih dari 1000 di seluruh dunia, dengan adanya korban yang terinfeksi virus Corona dari angka korban tidak terus bertumbuh dan virus ini segera di cari solusi pencegahannya.

Secara historis dalam Islam, wabah virus semacam ini juga muncul pada zaman Nabi Muhammad Saw walaupun bukan virus Corona” wabah yang muncul saat itu adalah kusta,( lepra), yang sangat menular dan mematikan sebelum di ketahui obat mujarab-Nya. Dalam sebuah Hadits yang di riwayatkan oleh imam Bukhari Nabi Muhammad SAW bersabda yang artinya kurang lebih seperti ini:

“Jangan kamu Terus menerus melihat orang yang menghidap penyakit kusta” ( hadits ini Hasan) sesuai dengan wabah kusta yang merebak.

Dalam mencegah wabah virus. Nabi Muhammad SAW punya cara yang sangat efektif serta relevan dengan zaman modern ini. Nabi SAW bersabda( ” Artinya kurang lebih seperti ini: jika kamu mendengar wabah di suatu wilayah maka jangan kalian memasuki-Nya’ tapi jika terjadi wabah di tempat kamu berada Maka jangan tinggalkan tempat itu”)  hadits yang disabdakan oleh Sang Tokoh revolusioner  yang berpengaruh di dunia ini mengabarkan metode karantina di abad 21 ini yang di gunakan untuk mencegah wabah virus yang sejenis kusta yakni Corona.

Menurut penulis sebenarnya banyak metode untuk mencegah terjadinya virus Corona seperti misalnya Do’a Qunut Nazilah ‘ karena kita sebagai hamba Allah SWT yang senantiasa tunduk kepada-Nya’ karena seluruh  kuasa di jagat raya ini berada dalam genggamannya. Do’a Qunut Nazilah ini senantiasa kita Baca dalam setiap sholat 5 waktu tidak hanya di waktu Subuh saja. Karena hemat penulis dan menurut Islam setiap penyakit itu ada obatnya’ Allah SWT yang memberikan penyakit/ obat dan dialah yang menghidupkan dan mematikan. Surat Al Fatihah juga obat penyembuh dari penyakit karena surat ini disebut sebagai Assifa ( penyembuh).

Dalam sejarah Islam seperti yang di ceritakan bahwa ada sebuah penyakit yang sangat berbahaya dari penyakit apapun di dunia ini termasuk virus Corona yaitu penyakit Wahn” dan ini tidak ada dalam kamus kedokteran.  Dalam satu riwayat di ceritakan” Bahwa Nabi Muhammad SAW pernah di tanya tentang penyakit wuhn  wahai Rasulullah SAW apa itu penyakit wuhn?. Beliau yang mulia menjawab! Wuhn itu adalah Cinta Dunia dan Takut akan mati)
Ini adalah dua penyakit dalam satu nama cinta dunia dan takut terhadap kematian, orang yang tergiur dengan pekerjaan dunia serta kenikmatan nya sehingga melupakan kehidupan akhirat sehingga orang orang berlomba-lomba untuk menikmati kebahagiaan di dunia sehingga tidak berpikir lagi bahwa dunia hanya sebuah permainan dan panggung sandiwara saja, menurut penulis mungkin dengan adanya virus Corona yang berasal dari kota Wuhan China ini mungkin skanario dan konspirasi global antara Amerika dan China sebagai peranannya ini hanya sekedar asumsi saja mudah mudahan ini tidak meleset dari analisa penulis. China dan Amerika sebagai negara adidaya di dunia mungkin juga adikuasa untuk menggenggam dunia,  berbagai konspirasi yang di mainkan mulai dari isu Radikalisme Atas nama agama, perang dunia, Irak/ Amerika, Israel dan Palestina, munculnya ISIS di Taliban, dan lain lain. Semua adalah Amerika tambah dengan China yang bermain di belakang layar. Israel sebagai negara belahan As, Taliban, Irak, China termasuk Indonesia semuanya tunduk kepada Amerika sebagai negara kapitalis dunia hampir semua negara berhutang di Amerika, invasi Amerika terhadap Irak dengan peristiwa hancurnya gedung WTC 11 September 2001 itu itu karena minyak. Singkatnya dalam Al Qur’an sudah jelas di gambarkan bahwa:

“ Orang orang Yahudi dan Nasrani mereka tidak akan senang kepada kamu sampai kamu masuk dalam agama mereka( QS Al-Baqarah.  Jus, 1. Ayat 120 )  yang penulis maksudkan disini adalah orang-orang yang berbuat kerusakan dan permusuhan dengan menggunakan alat agama dan hati mereka sedikit pun tidak tersentuh  terhadap agama Nya.

Firman Allah SWT: artinya kurang lebih seperti ini: “Sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang berbuat kerusakan tetapi mereka tidak sadar” ( QS Al-Baqarah. Jus.1. Ayat 21.)

Cinta dunia dan takut akan mati seperti ini:  mereka yang suka berbuat kerusakan dengan berbagai konspirasi yang di lakukan. Mereka inilah yang tidak yakin terhadap kehidupan akhirat. Karena hati mereka dibutakan oleh kehidupan dunia. Firman Allah SWT; seperti ini: 

“mereka itu tuli, bisu dan buta’ maka tidaklah mereka kembali ke jalan yang benar” (QS Al-Baqarah jus 1. Ayat: 18). 

Mereka terlalu cinta dunia dan melupakan kehidupan akhirat. Firman Allah SWT artinya kurang lebih seperti ini:

“Kehidupan dunia di jadikan indah dalam pandangan orang-orang kafir dan mereka memandang hingga di hadapan orang-orang beriman. Padahal orang-orang bertakwa itu lebih mulia dari pada mereka di hari kiamat” ( QS Al-Baqarah: jus 2. Ayat.212.)

Dalam sebuah Hadits disebut nabi Muhammad Saw bersabda: artinya kurang lebih seperti ini:

“Kehidupan dunia ini adalah penjara bagi orang-orang yang beriman dan neraka bagi orang-orang kafir ( Al hadits).
Oleh sebab itu virus Corona dianggap virus yang mematikan’tapi yang mematikan’ itu adalah kematian itu sendiri. Corona istilah yang tren yang di hebohkan Dan menggoncangkan dunia kita seperti zombie kalau zombie juga mungkin konspirasi seperti di film horor Amerika.

Orang yang cinta dunia nasibnya sebatang kara terombang-ambing oleh badai.  Demikian sekilas dari saya.

Wallahul muwafieq IllaAqwamit Thorieq’  Wassalamualaikum Wr’Wb

(OpiniTernate 19 Maret 2020

Jalan Berliku Burhan Ismail (BI)

Oleh: M. Kubais M. Zeen
Editor dan Penulis Freelancers.
Pernah jadi Penulis Literasi Koran TEMPO, edisi Makassar.

“Hidup yang tak pernah diperjuangkan,
tak kan pernah dimenangkan.”

(Sutan Sjahrir, Pendiri Bangsa)

Petuah si Bung Kecil—begitu Sutan Sjahrir akrab disapa, “terpahat” di baju kaos produk kreaif Insist Press-Resist Book, Yogyakarta, yang saya miliki beberapa tahun lalu. Petuah tokoh yang saya kagumi itu terngiang saat menggurat serpihan kisah hidup seorang lelaki yang pantang surut berpeluh memandirikan dirinya.
Nama lelaki itu Burhan Ismail (BI), yang lahir pada 5 Desember 1976 di Orimakurunga, Kayoa Selatan, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Di desa pesisir ini, ia menghabiskan sebagian hidupunya. BI tumbuh di tengah keluarga yang tak bergelimang harta. Sang ibu, Sukarni Mologutu, hanya ibu rumah tangga yang turut menyangga beban hidup dengan mengolah umbi—hasil utama kebun jadi sagu. Ayahnya, Ismail Lauhin, petani yang dipercaya masyarakat menjabat sekretaris desa selama beberapa periode di zaman Orde Baru. Jabatan itu tak seperti saat ini, pegawai negeri yang jadi rebutan. Sesekali, ayahnya yang turunan Gamkonora, Kecamatan Ibu Selatan, itu melaut untuk memenuhi kebutuhan protein keluarga.

Sagu, terkenal sebagai makanan khas masyarakat Maluku Utara, dan di tanah kelahiran BI-lah pusatnya, yang hingga kini masih diproduksi secara tradisional. BI belia, setia membantu ibu membuat dan menjual sagu semampunya. Di dalam keluarga, ia terkenal menjaga kebersihan diri, fasih pula mengaji. Saat menginjak usia empat tahun, ia khatam Al-Quran—prestasi ini tertular pada putrinya, Sri Humairah B. Ismail.

Lelaki berbintang Sagitarius itu menyelesaikan pendidikan SD-SMP di tanah kelahirannya. Saat masih SD, BI, seperti orang tak mampu lainnya, mengenakan seragam tak padu: kemeja putih, celana pendek bebas sesuka hati, dan telanjang kaki lantaran tak mampu beli sepatu, juga celana seragam merah. Di SMP tidak seperti itu lagi. Sepulang sekolah, ia tetap menyempatkan diri membantu ibu yang paling menyayanginya.

Kira-kira tahun 1990, BI meninggalkan tanah kelahiran, menimba ilmu di Aliyah SP-IAIN Ternate. Di kota ini, numpang hidup di orang lain—pengampun—jadi pilihan terbaik. Sambil sekolah, dia cari uang sendiri, jadi buruh di Pelabuhan Bastiong, agar orangtuanya tersenyum.

Menjadi buruh masih dilakukannya hingga semester satu Fakultas Tarbiyah STAIN/IAIN Ternate. Sewaktu kuliah, BI tak lagi tinggal di pengampun. Bersama beberapa kawan patungan menyewa sebuah kamar kontrakan yang tak jauh dari kampus. Perut kosong sudah jadi hal biasa. Pun demikian dengan kenakalan, yang membuat pening sebagian temannya sampai menganggap BI tak akan menghuni daftar manusia sukses.

Orangtua dan keluarganya menyungging senyum saat BI pulang kampung dengan gelar sarjana. Beberapa waktu kemudian, guru ngaji ini beranikan diri mempersunting pujaan hatinya, Nursina Ilyas, gadis rumahan yang pontang-panting ia tambatkan hatinya. Sembari mengajarkan anak-anak mengaji, BI membangun sebuah Mushallah yang diberi nama Al-Irsyad. Ia pun bekerja menangkap sosoro (ubur-ubur) di laut Loid. Dua peristiwa penting yang selalu dikenangnya: tenggelam di laut pukul dua dini hari dan anak pertamanya lahir. Suatu malam, ia seperahu sampan dengan seorang sepupu, Bakbak nama panggilannya, ketiban rezeki. Banyak sosoro “menari-nari” di sekitar perahu. Girang bukan main. Sambil teriak, dengan penuh semangat memasukkan sosoro ke dalam perahu hingga dingin menusuk. BI tersentak, perahu sudah di dalam air, berenang bersama sosoro. Keduanya, susah payah mengeluarkan hasil tangkapan dan dibawa pulang secukupnya.

Di lain waktu, di tengah gulita berburu mahluk berkepala besar dengan jari-jari menjuntai itu, kabar gembira menghampiri: istrinya melahirkan. Tanpa pikir panjang, ia menamai anak sulungnya itu seperti nama “rumah” Tuhan yang sedang dibangun tersebut: Muhammad Irsyad B. Ismail. Karena masih butuh suntikan dana pembangunan Mushallah, BI menjual halua kenari di sejumlah daerah, dan memasukkan proposal bantuan dana di beberapa tempat. Impiannya terwujud. Mushallah rampung dibangun dan digunakan sampai kini.
Tahun 2001/2002 berbekal restu orangtua, dia memboyong anak istri ke Ternate, untuk mencari pekerjaan baru dengan harapan kehidupannya bisa berubah. Di kota ini BI menumpang hidup di gubuk kakak sulungnya. Sejumlah pekerjaan ditekuni demi menafkasi anak istri: tukang ojek, dagang sagu dan ikan kering—orang Maluku Utara, menyebutnya ikan garam. Dengan motor yang ia sewa, sedari subuh hingga malam, BI berburu penumpang. Ia hanya pulang rumah saat waktu makan tiba.

Lain lagi saat menjual sagu dan ikan kering. Pasar yang disasar, Manado. Dengan Kapal Pelni Umsini, BI menjajakkan dagangannya di kota yang terkenal dengan gadis-gadis rupawan mirip dara-dara Mandarin itu. Sayang, tak laku, harganya sama dengan di Ternate. Jalan satu-satunya, ia barter dengan pakaian. Pergi bawa dagangan, pulang bawa dagangan pula. Pakaian ini kemudian dijual di kampung halamannya. Banyak ibu-ibu yang diberikan untuk mengerjakan tiga kebun miliknya, ditanami ubi yang kemudian diolah jadi sagu.

Dua pekerjaan itu belum membuat hidupnya membaik. Kadangkala, jika uang tak cukup membeli makanan, BI membawa anak istrinya ke rumah pengampunya dulu sewaktu SMA, untuk menumpang makan. Tak jarang pula sebungkus nasi dinikmati bersama anak istri. Suatu malam anaknya demam malaria, uang tersisa 10 ribu, hujan tak henti mengguyur, motor sudah ditarik pemiliknya. Lima ribu ia gunakan untuk mencari bantuan, pemilik motor mengacuhkannya.
“Saya basah kuyup, menangis sesunggukan sepanjang jalan karena tak bisa membawa anak saya ke dokter atau rumah sakit. Di saat seperti ini, alhamdulillah, Allah membuka jalan. Sahabat saya, Adeko yang masih bujangan saya temui mau meminjamkan motornya. Malam itu juga, saya mengojek untuk membeli obat buat anak saya, juga makanan,”matanya berkaca-kaca mengenang.

Kendati begitu, BI tak patah arang. Seperti prinsip pelaut Bugis-Makassar, “sekali layar terkembang, pantang surut untuk kembali.” Meratapi kondisi hidup tak kan menyelesaikan masalah. Hidup memang harus diperjuangkan. Tahun 2003, Taraweh Djamaluddin (Tedja alm), wartawan senior yang hidup di rantau kembali ke Ternate membuka lowongan untuk media Tabloid mingguan Cermin Reformasi. BI beranikan diri melamar dan diterima. Sambil meliput berita, ia ngojek. Berharap gaji yang sangat pas-pasan, tak cukp lima ratus ribu, itupun tiga bulan sekali diterima sebesar itu, bisa-bisa mati kelaparan.

Dua tahun jadi wartawan, BI mengikuti pelatihan jurnalistik yang dilaksanakan Cermin Reformasi bekerja dengan Lembaga Pers Dr. Soetomo (LPDS) Jakarta, di Ternate. Wartawan kawakan yang juga tokoh pers nasional antara lain Atmakusumah Astraatmadja, TD. Asmadi, Warief Djadjanto Boesoerie, dan Maskun Iskandar adalah gurunya di pelatihan ini. BI lulus terbaik kategori disiplin tinggi.

Ia “pensiun” sebagai pengojek saat mendirikan Posko Malut, 11 Januari 2010. Sebelumnya, ia memimpin harian Cermin Reformasi, yang cetak Senin Kamis karena kondisi mesin, pusing pula menyediakan bahan baku. Dr Kasman H. Ahmad, Dosen BI di IAIN, juga senioranya di Ikatan Mahasiswa Muhammadiyah (IMM) yang hafal betul bagaimana BI waktu kuliah, pun mengakui tak pernah membayangkan mantan mahasiswanya itu akan jadi entrepreneur, mendirikan media.

Memaknai Hidup
Martin Heidegger, salah satu filosof eksistensialis besar Abad 20 menyatakan, setiap orang mengalami fenomena, dan memaknai sendiri fenomena itu (Kahija, 2017). Dalam Islam, eksistensi manusia disebut khalifatullah filardh. BI merasa tugas kekhalifaannya bermakna, jika ia mampu membahagiakan kedua orangtua, anak istri, keluarga, dan menabur kebaikan pada orang lain, sekalipun kebaikan itu gampang dilupakan orang saat terantuk “kerikil.” Jalan ke arah ini ialah dengan mendidik kemandirian diri sendiri, sebab bagaimana mungkin bisa melakukan itu jika diri sendiri masih berharap uluran tangan orang lain.
Wajar, BI mati-matian menekuni berbagai pekerjaan. Dan di antara pekerjaan itu, jurnalistik dan pebisnis media-lah jalan terbaik yang dipilihkan Tuhan untuknya, agar ia bisa mewujdukan impian, termasuk seperti idolanya, Dahlan Iskan, pendiri Jawa Pos Grup. Kata pakar otak kanan Ippho Santosa, manusia harus berupaya “memantaskan diri” sebelum dipantaskan oleh Tuhan.

Kendati demikian, ia mengakui jasa besar istrinya.”Saya beruntung memiliki istri yang sangat sabar dan setia. Jika tidak, akan lain ceritanya, hidup saya tidak seperti ini.” Pengakuan ini menguatkan pandangan bahwa di balik kesuksesan sesorang suami tak lepas dari peran besar sang istri. Maka, jangan pernah setitikpun melukai istri.

Dari secuil kisah hidup BI, tak salahnya kita berkaca, memetik hikmah, bahwa untuk hidup bermakna seperti petuah Sutan Sjahrir, harus diperjuangkan, karena “Allah tak akan mengubah nasib suatu kaum, kecuali mereka mengubah nasibnya sendiri,” Sejumlah ahli tafsir memaknai salah satu ayat Al-Quran ini, ada peran penting manusia di dalamnya.