Aliansi Perempuan Malut Bergerak Tolak Pencabutan RUU PKS Dari Prolegnas Prioritas Tahun 2020

TERNATE, CN – Aliansi Perempuan Maluku Utara Bergerak, pagi tadi menggelar aksi menuntut pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU-PKS) dan menolak pengesahan Omnibus Law Cipta Kerja.

Aksi tersebut dimulai pada pukul 09.00 WIT, kamis (9/7/2020).

Aksi ini di gelar di dua tempat, yakni di Tugu Makugawene Kota Ternate dan Kantor DPRD Kota Ternate, dengan masa aksi berkisar 100 orang lebih, dengan di peralatkan, 1 buah Corong, Bendera Kebangsaan Indonesia, berbagai poster tuntutan, propaganda, dan umbul-umbul.

Kordinator Lapangan (Korlap) dalam Aksi tersebut, Dea Kaijely, saat di wawancarai mengatakan, bahwa berdasarkan laporan Komnas perempuan sejak 2014, Indonesia sudah berada dalam kondisi darurat kekerusan seksual. Lembaga ini mencatat sejak 2014 ada 293.220, 2015 dengan 321.762 kasus, 2016 dengan 259.150 kusus, 2017 dengan 348.446 kasus, 2018 dengan 406.178 kasus, dan 2019 meningkat lagi menjadi 431.471 kasus.

“Angka ini adalah akumulasi dari kasus yang terlaporkan, dan yang tidak terlaporkan tentu masih sangat banyak, karena dalam masyarakat patriarkal, kekerasan seksual ini dianggap sebagai satu hal yang tabu sehingga tertutup rapat. Kasus kekerasan ini tidak bisa hanya di lihat sebagai angka-angka belaka, melainkan ada kehidupan yang dihancurkan, fisik dan psikis terganggu dan membutuhkan bantuan untuk keluar dari rasa traumatik yang besar,” ungkapnya.

Bahkan tak jarang juga ada korban mengakhiri hidupnya karena banyak tekanan dari berbagai pihak. Sejak 2014 naskah akademik dan draft RUU P-KS disusun dan diusulkan dalam prolegnas, Memasuki 2016, RUU P-KS berhasil dimasukkan dalam prolegnas prioritas 2015-2019 dan tidak kunjung disahkan.

“Artinya ada rentang waktu yang sangat panjang untuk dibahas, dan DPR-RI dinilai gagal dalam upaya melindungi perempuan dan anak bahkan laki-laki juga kelompok rentan lainnya seperti Difabel, LGBTQ dari kekerasan seksual, Anggota DPR-RI yang bertugas juga dinilai sangat main-main dan terkesan tidak serius dalam membahas RUU PKS ini dengan banyak anggota yang tidak hadir dalam beberapa kali sidang pembahasan,” ujar Korlap dengan nada keras.

Menurutnya, RUU PKS ini adalah salah satu payung hukum dalam melindungi korban tanpa memandang jenis kelamin dan diskriminasi gender sama sekali. Bahkan Dea menyampaikan baru-baru ini publik dibuat marah dengan kebijakan DPR RI komisi VIII yang mencabut RUU PKS dari prolegnas prioritas 2020 dengan alasan ‘sulit’.

“Artinya DPR memang tidak serius membahas RUU PKS, padahal sudah bertahun-tahun RUU PKS ini diperjuangkan oleh rakyat Indonesia lewat aksi-aksi politik dan secara bersamaan perempuan yang menjadi korban kekerasan seksual yang meningkat sangat signifikan baik dalam ranah privat, komunitas maupun negara,” tandasnya.

“Tapi seolah DPR RI menutup mata dan telinga dengan kasus-kasus yang ada. DPR RI harus menunggu berapa korban lagi untuk mengesahkan RUU ini? Tidak mengesahkan RUU PKS berarti menciptakan perlindungan buat pelaku kekerasan seksual,” kesalnya.

Lanjut Korlap, RUU PKS yang dibalas selama bertahun-tahun tidak juga disahkan bahkan dicabut dari prolegnas 2020, hal berbeda dilakukan oleh negara, yaitu untuk memasifkan sirkulasi kapital dan membuat rakyat menderita, maka paket kebijakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja akan dikebut untuk segera disahkan. RUU Omnibus Law Cipta Kerja kabarnya akan dibahas dalam sidang paripurna DPR-RI pada tangga 16 Juli 2020.

“Substansi Omnibus Law Cipta Kerja mencakup 11 klaster yaitu penyederhanaan perizinan, persyaratan
investasi, ketenagakerjaan, kemudahan, pemberdayaan, dan perlindungan UMKM, kemudahan berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi, pengadaan tahan, investasi dan proyek pemerintah, kawasan ekonomi,” jelas Dea.

Ia mengatakan, dari belasan klaster ini jika ditelusuri terlebih jauh justru menjauhkan rakyat dari kesejahteraanya baik petani, buruh, perempuan, masyarakat miskin perkotaan maupun pedesaan, masyarakat adat, nelayan, mahasiswa dll.

“Logika Omnibus Law murni logika kapital yang keberadaanya mempermudah laju investasi dalam negeri yang syarat akan kehancuran ekologi, perampasan lahan petani secara besar-besaran, eksploitasi dan PHK buruh pabrik, marginalisasi perempuan dll. Sejatinya Omnibus Law Cipta Kerja mengkonsolidasikan para oligarki untuk mendulang kekayaan dengan mengorbankan rakyat Indonesia,” sebut Korlap.

Lebih lanjut Dirinya menyebut, bahkan dalam proses melancarkan kebijakan ‘sapu jagat,’ ini, Jokowi memerintahkan Kapolri, Kepala BIN, Jaksa Agung dan seluruh kementerian yang berkaitan dengan komunikasi untuk mendekati
organisasi-organisasi yang tidak mendukung Omnibus Law.

“Bahkan situasi yang terupdate, pimpinan Badan Legislasi Nasional telah diganti oleh pensiunan perwira tinggi Polisi untuk mengawal pembahasan RUU Omnibus Law Cipta Kerja. Dalam situasi yang semakin sulit karena pandemic COVID-19 yang membuat rakyat semakin menderita karena ketidakpastian kerja dan pendapatan Negara, bukan fokus dalam mengatasi penyebaran virus, justru menindas rakyat dengan menggenjot pengesahan kebijakan yang anti rakyat ini,” ujarnya.

Di ketahui, aksi yang di gelar berakhir dengan hering terbuka bersama Anggota Komisi III DPRD Kota Ternate, Junaidi A. Bahrudin S.T di depan kantor DPRD Kota Ternate.

Sementara dalam aksi itu, massa aksi Aliansi Perempuan Maluku Utara Bergerak, Menolak pencabutan RUU PKS dari Prolegnas prioritas tahun 2020, menuntut pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS), dan yang terahir Tolak Omnibus Law Cipta Kerja. (Ridal CN)