Negeri Penuh Bencana

Oleh: Warasul Ansar S.Hut (Aktivis HMI Ternate)

Kondisi dunia yang sedang dilanda krisis global dan ketidakpastian terasa pula dampaknya pada krisis finansial di dalam negeri, bercermin pada tahun lalu munurunnya pertumbuhan ekonomi negara kita di tahun 2008-2009. Di sisi lain tak kalah pentingnya adalah gejala alam yang juga tidak berhenti terjadi di bumi pertiwi ini, menambah pederitaan panjang bagi rakyat dan menambah ekstra tugas penyelenggara Negara. Oeleh karena itu, marilah kita sama-sama menengok ke belakang. Belum sempat konsolidasi membangun perekonomian, ternyata sudah di repotkan lagi menangani kondisi konflik internal yang terjadi di dalam negeri dan menanggulangi bencana alam yang datang bertubi-tubi seolah-olah tidak pernah berhenti menerpa negeri ini.

Gejala alam telah memberikan perhatian kepada kita dengan berbagai “tanda” yang datang silih berganti. Bahkan, bendungan situ gintung jebol ketika fajar, pada saat orang-orang tidur lelap di akhir bulan maret menjelang pemilu legislatif tahun 2009. Menjelang salah satu pesta demokrasi pencarian kader-kader pemimpin bangsa. Jebolnya situ gintung perlu menjadi bahan renungan kita, mengapa bencana terjadi di sana, sejalan dengan alunan lagu “Ebit G Ade”.

Di tahun 2009 tanggal 2 September Gempa Tasikmalaya bergetar hingga Bali dan Jakarta sekitar pukul 14.55 WIB dengan 7,3 skala Richer. Bencana yang membuat hati kita prihatin dan menangis sedih karena ratusan sarana ibadah serta sekolah rusak dan terjadi saat bulan Ramadhan.

Dibalik musibah memang ada hikmahnya, karena Tuhan memberi kesempatan kepada sesama untuk menolong saudaranya yang sedang dalam kesusahan dengan pahala yang berlipat ganda. Belum pupus dari ingatan kita, terjadi gempa dan tsunami di Aceh pada tanggal 26 Desember 2004 yang lalu, yang menelan ratusan ribu jiwa, terjadi pula musibah yang selalu menerpa negeri ini dengan berbagai macam, yaitu tenggelamnya kapal Verry di Danau Toba tanggal 29 juli 2018, dan terjadi pula Gempa di Lombok pada akhir bulan tanggal 29 Juli 2018 sekitar pukul 18,16 WIB dengan kekuatan 7,4 skala Richer. Dan telah mengguncangkan dan melululantahkan kota Lombok dan sekitarnya. Tidak hampa bangunan yang luluh lantak, tetapi bnyak hati yang hancur dengan gelora kepedihan.

Belum selesai trauma yang dirasakan akibat gempa di Lombok, ternyata pada 28 September 2018 terjadi pula gempa dan tsunami di Palu dan Donggala yang telah melahap banyak korban. Di susul lagi jatuhnya pesawat Lion Air Jt 610 tanggal 29 oktober 2018 yang juga menelan banyak korban yang tak berdaya. 

Musibah Tahun 2018 belum berakhir karena tanggal 22 Desember 2018, gempa dan tsunami kembali terjadi di Banten dan telah memenuhi janjinya pada saat malam hari, telah menggulung pantai Banten yang meranggut ratusan nyawa dan menyisahkan duka karena banyak yang kehilangan senak famili dan tempat tinggalnya. Kalau suda ketetapan Allah, tidak ada satu pun juru kunci yang yang sanggup menahan kuatnya Gempa dan naiknya air laut yang melahap semua yang ada di depannya.

Tahun 2018 sampai masuk 2019 tidak pernah sepi dari bencana terutama yang berkaitan dengan banjir, kekeringan, tanah longsor, puting beliung, dan gelombang pasang (hidrometeorologi) yang memakan korban jiwa dan kerugian material masyarakat Indonesia.

Belum lagi usai kini musibah mulai kedatangan yang bernama corona virus atau covid 19 yang menalan ribuan bahkan juataan ribu manusia.

Bencana alam bukan mengikuti ritme pesta Demokrasi negeri ini, tetapi kita harus waspada sepanjang pesta  2019-2024, dan seterusnya. Karena, kalau terus terjadi perusakan hutan dan belum berhasil menanam dan memperbaiki hutan kita, maka musibah hidrimeteologi tetap akan terjadi.

“Pengunduluan hutan pada hakikatnya adalah membocorkan kapal yang ditumpangi bersama dan menunggu waktu kapan kapal akan tenggelam dengan segala isisnya”. Pada saat itu pula seluruh penumpang dan awak kapal melompat terjun karena berlomba-lomba igin menyelamatkan diri dengan berenang di laut lepas yang penuh dengan keganasan.

Membuang sampah sembarangan pada dasarnya adalah menyiapkan sumbatan di saluran air yang seharusnya senantiasa terbuka dan mengalir lancar. Sehingga, tidak menimbulkan bencana banjir dan sumber penyakit di mana-mana. Kesadaran terhadap pentingnya kebersihan lingkungan tidak di mulai dengan pembelajaran membersihkan diri melalui penyucian hati. Jangan sampai sapu kotor dijadikan pembersih rumah.

Kalau kita yakin adanya kekuasaan yang Maha Kuasa, tentun banyak hikmah yang tersembunyi berada di balik setiap kejadian-kejadian yang selalu menerpa negeri ini. Namun hanya sedikit orang yang memahami sesuatu yang tersembunyi tadi. Betul-betul negeri yang elok ini, tiada henti mengalami musibah dan ujian melalui proses kekuatan alam, sebagai manifestasi kekuatan sang khalik. Kita senantisa bertanya. mengapa negeri yang elok ini selalu terjadi bencana?  

Berbagai tanda datang silih berganti, tetapi belum sepenuhnya memberikan dan membuahkan kesadaran kepada kita semua mengenai arti kehidupan. Masih banyak orang-orang yang tidak takut  berbuat dosa, barangkali berharap dapat bertobat suatu hari kelak. Mengubur orang yang mati hanyalah sebatas ritual keagamaan dan partisipasi pergaulan sosial kemasyarakatan saja, tetapi tidak mampu mengambil iktibar dri semua kejadian tersebut, seakan-akan masi terbuka kesempatan untuk menjalani hidup di dunia ini seribu tahun lagi.

Apakah karena kita memahami bahwa pintu tobat senantiasa terbuka sehingga menundanya sampai suatu saat matahari terbit dari arah Barat? Inikah yang menjadi penyebab bencana yang tak pernah berhenti. Padahal, “tiada gugur daun sehelai pun ke bumi tanpa seizin Allah”. Konon lagi ribuan bahkan ratusan ribu saudara kita harus mengalami nasib tragis, tertimbun dan terkubur dalam lumpur laut, reruntuhnya puing bangunan dan timbunan tanah yang lonsor. Mari kita renungkan mengapa bencana-bencana masih selalu terjadi di negeri ini?

Musibah demi musibah dalam berbagai bentuk datang dan silih berganti di berbagai daerah. Namun, perlu kita yakini bahwa hal tersebut merupakan wujud kasih sayang dari sang pencipta karena hanya sebagai peringan bagi orang-orang yang mau berpikir. Jangan sampai azab Tuhan berlaku ditimpa kepada seluruh penduduk negeri ini karena ulah para pemimpin yang tidak amanah.

Apakah masih ada masalah lain lagi yang tidak kita ketehui sehingga membuat-Nya murka yang dimanefestasikan dengan kemurkaan alam? Mungkin masih banyak diantara kita yang membagi cinta selain kepada-Nya? Meminta kepada selain-Nya? Cinta kepada Allah adalah sesuatu yang sakral dan tidak dapat di bagi dengan yang lain dalam bentuk apapun. Manakala cinta suda terbagi selain kepada sang pencipta atau terhadap zat lain maka bukan ujian lagi yang di datangkan oleh-Nya, melainkan ditirinkan azab secara menyeluruh yang tidak membedakan terhadap siapa yang beriman dan yang ingkar serta siapa pimpinan dan siapa bawahan.

Tugas pemimpin dan kita semua untuk melakukan perubahan keyakinan masa lalu. Sehingga, tidak ada lagi kepala kerbau di tanam secara mubazir dan sia-sia. Kalau kita semua merasa bersalah terhadap negeri ini dan bersama-sama mau mengakui kekhilafan dengan melakukan tobat nasuha kepada Allah serta mau memperbaiki diri dengan nasihat kebenaran, sesuai janji-Nya “pasti” bencana tersebut tidak akan datang berulang-ulang seperti yang di alami sekarang ini. Kerusakan di bumi ini tidak lain dikarenakan ulah tangan manusia juga. Ketidak mampuan mencegahnya karena kita tidak memiliki kekuasaan yang kuat untuk mengubahnya dan hanya mampu menolak dengan hati untuk menghentikannya. Itulah yang banyak dimiliki umat dan merupakan tingkat selamah-lemahnya iman kita.

Walaupun secara ilmu pengetahuan, wilayah Indonesia berada dalam bentangan garis potensi terjadi bencana alam, tetapi pada hakikatnya “Dia” yang mengatur alam jagat raya ini. Sesuatu contoh yang ilmiah, apabila seseorang yang mampu menciptakan sebuah “Robot” yang memiliki kekuatan dan kemampuan yang menghancurkan, pastilah mampu menghentikan robot tersebut sesuai dengan kehendak pembuatnya. Bencana alam yang timbul tidak terlepas dari energi negatif  yang ditimbulkan oleh tangan manusia sendiri, termasuk juga dalam melaksanakan pesta Demokrasi perlu juga memerhatikan syariat, jangan sampai melanggar ketentuan hukum Allah SWT.