Rekonsiliasi Gerakan Perempuan Pasca Reformasi

Oleh : Marisa Limun ~ PPNPN Kemnaker RI

Runtuhnya Orde Baru yang telah menyuburkan korupsi, kolusi dan nepotisme yang bertahan selama 32 tahun telah membawa implikasi dan krisis yang bersifat multidimensi. Berbagai belenggu yang menyangkut kebebasan berorganisasi, berpendapat dalam setiap aspek kelembagaan baik formal maupun non formal telah membuka pintu derasnya arus demokrasi dalam kehidupan bangsa Indonesia. Demokrasi yang datang ditengah hiruk pikuknya globalisasi telah memunculkan berbagai problematika yang kompleks. Problematika yang mendasar dan paling dirasakan masyarakat banyak adalah keterpurukan ekonomi yang menciptakan beban berat yang membawa implikasi antara lain adalah tingginya angka pengangguran (36 juta jiwa) yang mengakibatkan munculnya anak jalanan/vandalisme dan kriminalitas, peningkatan biaya hidup, kecemburuan ekonomi yang mengakibatkan isu sara yang mengancurkan tatanan fisik dan moral masyarakat, krisis kepercayaan terhadap penguasa, dsb.

Dalam Era Reformasi, munculnya berbagai organisasi wanita yang membangkitkan kembali para reformis wanita seperti tahun 1930-an yang tidak saja membela kaumnya sendiri, melainkan juga membela dan memikirkan nasib masyarakat marjinal, berbagai organisasi LSM yang membela rakyat kecil antara lain Wardah Hafiz, kelompok perempuan yang menamakan Suara Ibu Peduli yang membela hak anak, Ratna Sarumpaet yang memperjuangkan demokrasi dan hak buruh perempuan lewat organisasi Teaternya, Nursyahbani Kacasungkana yang membela wanita dari obyek kekerasan dan kejahatan melalui supremasi hukum, tidak ketinggalan Ibu Aisyah Amini yang telah berkiprah dalam dunia politik sejak lama, serta masih banyak lagi tokoh wanita Islam lainnya yang berkiprah dalam organisasi wanita.

Kesadaran perempuan yang lebih maju mulai muncul ketika Kartini mempertanyakan hak-hak kaum perempuan atas pendidikan dan kesejatheraan. Apa yang dilakukan oleh kartini itulah yang hingga kini menjadi spirit penting bagi gerakan kaum perempuan Indonesia kontenporer. Dengan latar belakang, motivasi dan ideology yang beragam, gerakan perempuan dalam kancah kebangsaan kita terus mengalami politik dan perubahan social yang terus terjadi. Pada masa Orde Baru, gerakan gerakan perempuan mengalami kemandegan seiring dengan pembugkaman yang dilakukan oleh penguasa rezim terhadap gerakan masyarakat sipil. 

Pada masa reformasi, ketika kran demokrasi dibuka lebar, maka gerakan civil society juga menemukan momentumnya. Situasi dan momentum tersebut juga telah turut mendinamisir gerakan perempuan. Setidaknya ada dua hal yang terjadi dalam konstalasi politik pasca-reformasi tersebut kaitannya dengan perempuan. Pertama, terjadinya gerakan konsolidasi gerakan perempuan, baik di lingkungan organisasi maupun organisasi-organisasi politik bahkan lintas “Idelogi”. Kedua, perubahan politk juga telah memberikan ruang yang luas bagi perempuan untuk memasuki seluruh sector public, termasuk kanca politik.  (Caswijoyo Rusy’die Cw). 

Era reformasi telah menimbulkan krisis yang bersifat multidimensi. Krisis berawal dari krisis kepercayaan terhadap pemerintah yang dalam pelaksanaan pembangunan oleh ORBA yang berkuasa selama 32 tahun telah mengakibatkan terpuruknya kondisi ekonomi nasional yang hingga kini belum pulih. Buruknya kondisi tersebut ditambah pula dengan berjalannya era industrialisasi yang merambah kota maupun desa, serta efek globaliasasi yang kesemuanya telah menimbulkan kompetisi dalam berbagai aspek kehidupan, secara khusus telah memberikan dampak pada kehidupan perempuan Indonesia yang dapat dinilai sebagai suatu hambatan maupun sebagai suatu peluang. 

Adanya penurunan kesejahteraan secara nasional, telah mendorong wanita untuk berperan serta dalam membantu kesejahteraan keluarga perlu mendapat perhatian dan dukungan yang positif. Peran kaum perempuan yang memiliki dorongan untuk bekerja di Indonesia sebagai negara yang mayoritas beragama Islam di saat kini janganlah dinilai semata-mata sebagai sebuah alasan untuk mencari kebebasan, tapi nilailah sebagai suatu usaha mulia seorang hamba Allah yang dapat mengangkat harkat dirinya dan keluarganya atau dengan kata lain sebagai suatu usaha untuk merevitalisasi seluruh aspek kehidupannya yang tetap berada dalam rentang.  

Hal lain yang menguatkan argumentasi terhadap respon kaum perempuan pada kondisi kebangsaan sangat terlihat jelas ketika tumbangnya rezim Orde Baru . Dalam buku “Geliat Perempuan Pasca Reformasi” yang di tuliskan oleh Mantan Ketua Fatayat NU ( 2010-2015 ) Ibu Idah Fauziyah. Beliau menuliskan bagian penting dari awal mulanya gerakan perempuan membangun kekuatan atau boleh di bilang Rekonsoliasi dengan tujuan membangun semangat nasionalisme. Hal ini dimulai ketika tumbangnya rezim otoriter Orde Baru itu seakan menjadi awal dari momentum kebangkitan people power, yang menyemangati rakyat untuk mulai berani meneriakkan aneka macam aspirasi mereka dengan lantang tanpa dihantui rasa khawatir terhadap ancaman negara. Tentu saja kaum perempuan juga menjadi bagian dari kelompok masyarakat yang turut aktif bergerak meramaikan ruang public. Selain terlibat dalam kerja-kerja demokratisasi sebagai agenda besar bersama, para aktivis perempuan tak ketinggalan mengangkat pula wacana yang lebih spesifik menyangkut keadilan gender. 

Dengan demikian, tentu sejarah Indonesia mencatat, kaum perempuan telah memainkan peran yang sangat besar dalam perjalanan bangsa ini. Kontribusi mereka setidaknya dapat di lacak sejak masa perjuangan melawan kolonialisme. Pada masa itu, seiring dengan maraknya gerakan nasional, gerakan perempuan menjadi salah satu penyokong yang sangat penting. Memang dalam banyak hal, sejarah gerakan kaum perempuan Indonesia tidak terlepas dari gerakan nasional. Kesadaran  perempuan yang lebih maju mulai muncul ketika Kartini mempertanyakan hak-hak kaum perempuan atas pendidikan dan kesejatheraan. Apa yang dilakukan oleh Kartini itulah yang hingga kini menjadi spirit penting bagi gerakan kaum perempuan Indonesia kontenporer. Bahkan, realitas gerakan perempuan hari ini juga sudah sangat flacksible banyak dari mereka yang konsen pada komuitas-komunitas penggerak social, pegawai pemerintahan, bahkan Politik juga tak kalah penting. Tentu, gerakan rekonsiliasi Perempuan Pasca-Reformasi harus terus di pupuk dan di kutakan, sehingga tidak ada diskriminasi pembedaan porsi (Lak-laki dan perempuan) baik diruang public maupun domestik.