BLT, Sudah Adilkah ?

Oleh: Sriwahyuni Tamrin
(Wakil Sekretaris Bidang Pemberdayaan Perempuan KNPI Maluku Utara)

29 Ramadan berlalu, satu hari lagi puncak kemenangan tiba. Sementara Virus Corona atau Covid -19 masih menyesakan dada dan menjadi momok paling menakutkan, dan ini tidak mudah meski kita diminta untuk ‘bersahabat’ dengannya. Segala upaya telah dilakukan, menjaga jarak, menjaga kontak fisik di tengah kerumunan banyak orang, bahkan pembatasan sosial berskala kecil maupun besar terus jadi topik hangat ditengah pandemi covid -19 ini. Bagaimana tidak, kedatangan TKA terus dibebas masukan, di situasi seperti ini jangan heran jika masyarakat berpikir kepentingan korporat lebih diutamakan oleh pemerintah.

Disisi lain, Covid -19 ini memberikan dampak yang sengat besar, terutama dalam pemenuhan hidup warga masyarakat sehari-hari. Walaupun begitu, banyak kalangan yang berkecukupan terus memberikan sumbangsih materi dan non materi kepada warga yang kurang mampu dan yang terpapar. Hal yang sama juga dilakukan oleh pemerintah, yakni salah satu contohnya program pemberian Bantuan Lansung Tunai (BLT).

Kita tentu tau bahwa pemerintah melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi (PDTT) memberikan bantuan langsung tunai (BLT) untuk mengurangi beban masyarakat desa di tengah tekanan ekonomi akibat pandemi Covid-19. Namun, BLT tersebut hingga kini masih terus jadi perdebatan di lingkungan masyarakat. Bagaimana tidak, banyak peruntukannya dianggap tidak memenuhi standarisasi yang dibutuhkan. Mulai dari prasyarat dan pendataan yang terkesan belum sesuai prosedur. Hal ini dianggap belum tepat sasaran sehingga memunculkan keributan.
Di tempat saya tinggal kelurahan Kalumata RT 11/ RW 005, saya menemukan banyak warga yang mengeluhkan terkait penerima BLT yang masih menggunakan data Bantuan Sosial (BANSOS) yang lama. Sebab, banyak warga kurang mampu juga yang belum terdata secara maksimal. Bahkan sempat terjadi ribut di salah satu kantor lurah dalam rangka memprotes kebijakan pemberian BLT yang dianggap masih tebang pilih. Padahal kita tau, bahwa dampak covid -19 ini dirasakan hampir semua masyarakat yang secara ekonomi belum berkecukupan. Pun mungkin saja di kelurahan atau desa tempat kalian tinggal bukan ? Apakah kalian menemukan keanehan ? Apakah perlu ada lobi-lobi khusus lagi ?

Jika benar-benar BLT itu sesuai peruntukannya, maka seharusnya pihak penyalur atau lurah harus melakukan pendataan baru di setiap wilayah di lingkungan RT/RW dan Desa. Supaya, warga tidak merasa dicurangi dan diabaikan. Karena jika sudah ada pembaharuan data, maka seharusnya kehadiran pihak pendata juga perlu dalam rangka tidak memunculkan kecurigaan dan sekaligus memberikan pemahaman terkait standar prasyarat penerima bantuan.
Jika ada diantara pembaca yang budiman mengatakan sudah ada pendataan, mohon untuk meyebut di daerah mana dan siapa yg mendata, supaya lebih jelas dan menjadi refrensi bagi desa atau kelurahan yang lain. Sebab prosedurnya harus ada pembentukan relawan desa untuk Covid -19, setelah itu dilakukan pendataan ke RT, RW dan Desa, kemudian musyawarah dan buat validasi data yang didapatkan di lapangan. Setelah itu data tersebut diberikan ke walikota atau bupati melalui masing-masing camat. Barulah bantuan bisa diberikan selama lima hari setelah bantuan sudah tiba. (Sumber Liputan6.com 27 April 2020).

Lalu apa saja persyaratannya, kata Menteri Desa PDTT, Abdul Halim Iskandar bahwa dua syarat calon penerimaan dana BLT, pertama, penerima merupakan masyarakat desa yang masuk dalam pendataan RT/RW dan berada di desa tersebut, masyarakat yang akan masuk pendataan adalah mereka yang kehilangan mata pencarian di tengah pandemi corona.

Kedua, calon penerima tidak  terdaftar sebagai penerima bantuan sosial (bansos) lain dari pemerintah pusat.  Artinya, calon penerima BLT dari Dana Desa merupakan mereka yang tidak menerima Program Keluarga Harapan (PKH), Kartu Sembako, Paket Sembako, Bantuan Pangan Non Tunai (BPNT) lain, hingga Kartu Prakerja. Bahkan juga bagu usia lansia yang adalah pengidap sakit kronis dan cukup lama bisa didata untuk menerima. (sumber; CNNIndonesia, 1 Mei 2020).

Pertanyaannya ? Sudah adakah pembaharuan data dari pihak kelurahan atau Desa? Jangan sampai banyak penerima BLT adalah mereka yang juga penerima Bantuan sosial lain dari pemerintah pusat. Ini bukan menuduh tapi bagian dari langkah ikhtiar untuk mencegah konflik di tengah masyarakat. Sebab demikian perlu ada pengawalan dan pengawasan secara bersama-sama.

Kita butuh kepekaan sosial terkait ini, bukan karena kita adalah bagian dari penerima manfaat BLT saja ataukah bukan dari penerima manfaat BLT, akan tetapi karena sudah banyak kasus terkait pemberian bantuan yang bermasalah dan tidak sesuai Standar Operasional Prosedur (SOP). Setidaknya ini bisa menjadi rujukan untuk tetap mengawal proses pemberian BLT ini sesuai sasaran dan peruntukan. Jika kita antipati dan tidak mau pusing, bisa kita bayangkan berapa banyak oknum yang diuntungkan dan berapa jumlah masyarakat yang dirugikan.

Apalagi di tengah pandemi Covid -19 ini, pemerintah tidak boleh hanya fokus pada perintah #DiRumahAja tanpa memperhatikan alokasi dana bantuan yang seharusnya diterima oleh warga yang kurang mampu dan terdampak virus Corona. Bahkan jika boleh, pemerintah daerah harus membuat Satgas Gugus Tugas terkait penyaluran penerima manfaat BLT tersebut. Kenapa ? Sebab ini berkaitan dengan Trust (kepercayaan).

Sebab, yang memberi mandat ke pemerintah adalah Rakyat. Maka berlaku adil dan objektif patut kiranya dilakukan, dalam rangka menjaga kondisi sosial masyarakat lebih stabil dan kondusif. Trust berkaitan dengan erat dengan moralitas, jika Pemerintah kita tidak lagi memiliki kepercayaan atas rakyatnya maka ia telah kehilangan moralitas.

Seperti yang ditulis Fukuyama (1995) bahwa Trust adalah moralitas yang mendasari tingkat saling percaya dalam masyarakat. Begitu pun Mahatmah Ghandi (Alfan Alfian, 2002) menyebut bahwa diantara sikap moral yang paling penting adalah membangun kepercayaan diri dan kepercayaan dengan orang lain).

Oleh sebab itu, semoga saja pemerintah kita bisa memperhatikan masalah penyaluran penerima manfaat BLT ini dengan adil dan bijaksana, serta tidak karena memandang dari status tertentu, seperti orang dekat, faktor keluarga.